Mohon tunggu...
Rut sw
Rut sw Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu Rumah Tangga, Penulis, Pengamat Sosial Budaya
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Berusaha melejitkan potensi dan minat menulis untuk meraih pahala jariyah dan mengubah dunia dengan aksara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kemiskinan, Salah Makna Salah Urus

13 Maret 2019   07:28 Diperbarui: 13 Maret 2019   07:47 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Sungguh, semakin mendalami Islam makin hati ini bergetar. Membenarkan dengan keimanan yang makin mantab. Betapa Allah benar- benar telah menyempurnakan agamaNya bagi manusia.

Berbagai istilah yang selama ini saya pahami ternyata tertolak. Dan mendapat penjelasannya ketika sudah mengkaji secara lebih dalam. Ironinya tak banyak orang yang menyadari bahwa kesalahan menidentifikasi satu istilah akan berefek kepada yang lain.

Inilah mengapa, kaum muslim wajib cerdas. Karena semua kebutuhan hidupnya sebetulnya sudah ada solusinya. Allah Sang Pencipta manusia telah sekaligus memberikan peraturan hidup bagi makluk ciptaanNya. Ibarat kita beli magic com pasti include manual instructionnya.

Dalam Sistem Kapitalisme, kefakiran ( kemiskinan) dianggap sebagai sesuatu yang relatif dan bukan sebutan untuk kondisi tertentu yang bersifat tetap dan tidak berubah. 

Karena itu, mereka menganggap bahwa kemiskinan adalah adanya ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan akan barang dan jasa. Karena kebutuhan tersebut berkembang dan makin beragam ketika materi sebagai alat pemuasnya juga berkembang. Inilah mengapa pemenuhan kebutuhan mengalami perbedaan pada masing-masing individu dan bangsa.

Bangsa yang terbelakang, yang kebutuhan individunya terbatas bisa jadi pemenuhannya hanya terbatas pada barang dan jasa yang bersifat primer. Berbeda dengan bangsa yang maju secara materi. Dimana kebutuhannya banyak dan tak terbatas. Tentu membutuhkan pemenuhan terhadap barang dan jasa yang tak terbatas pula.

Akibatnya standar kemiskinan di setiap negara akan berbeda. Syeh Taqiyudin An Nabhani mencontohkan tidak terpenuhinya kebutuhan sekunder di Eropa atau Amerika sudah dianggap miskin. 

Namun di Mesir atau Irak atau kekinian di Suriah atau Palestina tidak terpenuhinya kebutuhan sekunder tapi jika kebutuhan primernya sudah terpenuhi tetap dianggap tidak miskin. 

 Telah banyak ayat dan atsar ( pendapat para imam/ulama) yang menunjukkan bahwa Fakir maknanya secara syara adalah" ihtiyaj". Maka inilah yang seharusnya menjadi pembahasan pokoknya.

Jika kemudian kita mengambil apa yang menjadi anggapan kapitalisme, jelas akan salah besar. Karena nantinya akan ada perbedaan pandangan. Antar negara, masyarakat bahkan individu. 

Padahal persoalannya sama, yaitu kebutuhan manusia sebagai manusia. Lebih fatal hukum syara jadi permainan, karena dianggap tidak berlaku disuatu wilayah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun