Ketika bujangku sudah mulai masuk usia sekolah, dalam hati sudah muncul niatan untuk mengenalkannya dengan puasa. Terus terang ada sedikit was-was, apakah tidak memberatkannya? Sudahlah ..coba saja dulu, kalau tidak kuat ya berhenti..
Ada gelisah dalam hati. Aku tidak mau dia berislam sekedar berislam. Namun harus mengenal dan paham. Terlebih fakta yang kulihat, di sekitar, mereka yang mengenal Islam karena nashob atau keturunan, seringkali keterikatannya dengan hukum syara kurang kuat. Bisa jadi karena semua hanya mereka lihat dari apa yang biasa dilakukan orangtua dan kerabatnya. Bukan melalui jalan akal, mengapa aku harus Islam?
Dengan dibantu suami, ketika sahur digendongnya tubuh mungil itu, dan kusuapi sesendok demi sesendok, Â air matanya terurai dan berkali-kali kepalanya terkulai, permintaannya untuk tidur kembali tidak aku indahkan hingga nasi terakhir berhasil kusuapkan.
Ketika berkegiatan di sekolah Alhamdulillah, tetap semangat.  Ujian sebenarnya datang, justru ketika pulang. Hal  pertama yang ditujunya adalah lemari es, diteguknya dengan penuh kerinduan air dalam botol. Lantas dengan wajah puas dia melihatku, " alhamdulillah...haus bu". " Lo, bukannya kakak puasa ya?" Seketika dia terkejut, sambil nyengir dia berucap ,"maaf bu lupa.." . "oke, gak masalah, besok puasa lagi ya.." . Cobaan berikutnya mengalihkan rasa laparnya, karena disekolah ia bisa teralihkan. Sementara di rumah hanya dengan ibunya. Bener-bener butuh ibu yang kreatif!
Dan Alhamdulillahnya itu terakhir kali dia alpa tidak puasa. Selanjutnya hingga 29 hari berikutnya bisa full puasa tanpa jeda. Banyak orang yang kemudian mengomentari apa yang aku lakukan. Kejamlah, tidak manusiawilah, kenapa dipaksa-paksa sih, padahal kan masih kecil, biarkanlah..sesuka hatinya mau puasa atau tidak.Â
Toh nanti kalau sudah besar akan tahu sendiri. Dan masih banyak lagi hujatan dan nada nyinyir, termasuk ketika aku berusaha memakaikan hijab syari pada anak kedua. Â Kembali mereka mengatakan, mengapa membatasi anak, nanti kalau sudah dewasa dia akan berjilbab sendiri.
Mempersiapkan generasi penerus bagiku bukan perkara sepele, tapi butuh komitmen tinggi. Dan menurutku tidak ada satupun pohon yang tumbuh besar dengan daun rindang, buah lebat dan akar yang kuat tanpa melalui biji yang kecil atau setidaknya berasal dari sesuatu dari bagian pokoknya  yang paling kecil. Alam telah memberi pelajaran berharga, bahwa proseslah yang membentuk sesuatu menjadi apa yang nampak seperti sekarang.
Anakpun demikian, mereka adalah investasi dunia akhirat kita. Apa yang kita usahakan hari ini adalah apa kita akan kita terima di akhirat kelak. Â Akankah anak menjadi penyejuk mata dan hati ataukah justru menjadi fitnah, tergantung apa yang kita persiapkan hari ini. Yang paling krusial adalah menjadikan kebaikan sebagai pembiasaan.Â
Biarlah hari ini orang menghujat, karena nyatanya kita tidak menanggung dosa orang lain, tapi Allah menghisap amal shalih orang perorang. Dan anak-anak yang lemah adalah investasi yang buruk bagi masa depan orangtua. Hujjah apa yang akan bisa meringankan kita ketika kita mendapat amanah sebagai orangtua jika hari ini komitmen kita lemah?
"Dan hendaklah orang-orang takut kepada Allah, bila seandainya mereka meninggalkan anak-anaknya, yang dalam keadaan lemah, yang mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan mengucapkan perkataan yang benar". (Qs An-Nisa': 9)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H