Mohon tunggu...
Ruth Tobing
Ruth Tobing Mohon Tunggu... -

Mother of 2 , pengajar dan pembelajar, penulis amatir

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Indonesia...Surga Budaya Munafik

23 April 2014   16:37 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:18 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul diatas mungkin terkesan negatif dan pesimis. Namun faktanya, akar budaya munafik ini, semakin hari semakin menguat dan bertumbuh subur di negara kita.

Salah satu akarnya adalah bertumbuhnya budaya munafik dalam kehidupan beragama kita. Sebagian masyarakat memaknai agama sebagai identitas dan kekuasaan. Bukannya sebagai pemaknaan hidup dan spiritualitas pribadi. Tidak heran, meskipun masyarakat kita sangat rajin beribadah, namun korupsi dan kriminalitas tetap meningkat.

Perkumpulan-perkumpulan ibadah semakin hari semakin meningkat, namun nyatanya tidak banyak memberikan kontribusi untuk kemajuan negara. Bahkan, seringkali yang terjadi dalam perkumpulan-perkumpulan tersebut terjadi penghasutan untuk membenci umat agama lainnya.

Miris sekali, seolah olahkarena begitu sulitnya memiliki tiket masuk surga, sehingga kita harus saling membunuh dan membenci. Surga yang diajarkan dan dipahami sangat egosentris. Surga dianggap sebagai pasar kompetitif. Padahal, sebagian besar agama mengajarkan tiket ke surga adalah monopoly Pencipta.

Tidak heran, dengan pemahaman surga yang sangat egosentris, prilaku umat beragama juga sangat egosentris dan munafik. Di satu sisi, ingin masuk surga, namun di sisi lain, juga sangat terikat dengan materi dunia. Banyak pemuka agama yang mencela kapitalisme namun juga ikut menikmati produk kapitalisme itu sendiri. Berburu property dari uang umat, mengendarai mobil mewah dan plesiran ke tempat wisata religius sampai non-religius. Padahal, jika melakukan apa yang dikhotbahkan seharusnya pemuka agama memberi contoh hidup sederhana dalam perdamaian dengan orang lain. Bukannya melakukan korupsi untuk membiayai gaya hidup mewah dan sejumlah istri.

Agama sering dijadikan kekuasaan untuk menekan kelompok lain. Untuk mendongkrak popularitas sekelompok orang dan tameng untuk menghujat lawan politik. Untuk mendapatkan kekuasaan dalam pemerintahan yang ujung-ujungnya untuk meraih kekuasaan ekonomi. Meskipun negara kita adalah negara hukum, namun tafsir kebenaran versi agamanya dijadikan alasan untuk semena-mena main hakim sendiri pada warga yang berbeda agama.

Sementara sejumlah tokoh agama terlihat dalam hidup berkecukupan,umat justru hidup dalam kebodohan dan kemiskinan. Tidak ada upaya serius dari kelompok agama untuk melepaskan umat dari kesulitan hidup di dunia. Bahkan, dengan gampang menyalahkan kapitalisme dan dominasi negara asing. Padahal, peningkatan pendidikan dan penguasaan pengetahuan adalah satu-satunya cara untuk mengeluarkan umat dari lingkaran kemiskinan.

Mungkin saja, upaya yang tidak serius ini sengaja dilakukan. Sebab, jika masyarakat cerdas, doktrinasi agama dan isu perpecahan tidak akan mempan lagi. Masyarakat yang cerdas juga akan terbuka untuk menerima perbedaan. Pada situasi ini, kekuasaan kelompok yang menggunakan isu agama akan semakin lemah. Tentu, tidak menguntungkan bagi mereka.

Sekarang, saatnya masyarakat kita berpikir cerdas. Seberapa lama lagi kita hidup dalam budaya kemunafikan? Bukankah pemaknaan agama kita dilihat dari seberapa besar nilai tambah kita dalam masyarakat?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun