Mohon tunggu...
Ruth Wilhelmina
Ruth Wilhelmina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Aktif

Mahasiswa Aktif Prodi Ilmu Hubungan Internasional, UNIVERSITAS FAJAR MAKASSAR

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Opini: Patriarki dan Pembangunan di Indonesia

15 Juli 2021   00:44 Diperbarui: 15 Juli 2021   00:48 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Patriarki adalah sebuah sistem sosial atau stereotip yang memposisikan perempuan berada dibawah dominasi laki-laki. Patriarki menempatkan laki-laki sebagai pemegang otoritas utama dan mendominasi dalam hal otoritas moral serta hak sosial. Di Indonesia sendiri sebagai negara yang masih memegang teguh budaya ketimuran, masih cukup awam terkait kesetaraan gender. Masih banyak ditemukan masyarakat dengan pemikiran bahwa perempuan tidak bisa atau tidak boleh berada setingkat diatas laki-laki, sehingga banyak perempuan di Indonesia tidak mendapatkan hak-hak yang setara dengan laki-laki. Contoh sederhananya adalah ketika seorang istri memiliki penghasilan yang lebih besar daripada suami maka hal itu akan menimbulkan masalah dalam rumah tangga. Lalu pada aspek tenaga kerja, masyarakat Indonesia masih menganggap laki-laki lebih berhak untuk memiliki pekerjaan dibanding perempuan. Ideologi patriarki tersebut kemudian menciptakan kesenjangan yang sangat nyata antara perempuan dan laki-laki. Lantas kemudian, apa yang menjadi faktor lahirnya stigma terhadap eksistensi perempuan di Indonesia?

FAKTOR SOSIAL PENYEBAB STEREOTIP GENDER

Ada beberapa faktor yang mendorong terbentuknya stigma terhadap perempuan, salah satunya adalah stereotip yang terbentuk dari pola didik orang tua terhadap generasinya secara turun-temurun. Proses stereotipisasi terhadap suatu hal tidak serta-merta hadir begitu saja ketika manusia telah tumbuh menjadi dewasa, tetapi berlangsung sejak dini yang terbentuk dari perilaku orang tua dan lingkungan seekitarnya. Diferensiasi telah terjadi sejak awal, contoh sederhananya seperti warna pakaian anak-anak, Ketika pakaian itu berwarna biru berarti untuk anak laki-laki dan ketika pakaian itu berwarna pink atau merah muda berarti itu untuk anak perempuan. Warna pink dan biru ini sangat di identikan dengan gender tertentu, yaitu perempuan dan laki-laki. Kenyataannya, tak ada aturan khusus yang mengkategorikan warna dan gender. Kategori tersebut justru hadir karena diferensiasi yang diciptakan oleh masyarakat dari generasi ke generasi. Karena proses eksternalisasi yang bersifat terus-menerus dan kolektif tersebut, maka terbentuklah sikap internalisasi yang kemudian menjadi stereotip sampai detik ini. Keadaan seperti ini kemudian yang akan menjadi label terhadap jenis kelamin tertentu, yakni perempuan dan laki-laki. Keduanya sejak awal telah didikte dengan pernyataan-pernyataan seperti "Perempuan harus pintar memasak untuk melayani suami kelak" atau "laki-laki tidak sepantasnya menangis" yang menggeneralisasi perempuan dan laki-laki sehingga terbentuklah kesenjangan yang kontras di masyarakat.

Perempuan kemudian dianggap cenderung lemah dan bergantung pada laki-laki yang akhirnya menjadi awal terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Akibat dari stereotipisasi inilah yang menciptakan ketidakadilan terhadap perempuan. Ruang gerak yang dibatasi seperti; tidak perlu meraih pendidikan tinggi karena ujung-ujungnya hanya berakhir di dapur, diskriminasi di tempat kerja, bahkan kekerasan dalam rumah tangga. Meskipun saat ini sudah mulai banyak masyarakat yang tidak lagi mempermasalahkan terkait jenjang pendidikan perempuan, namun tetap tidak dipungkiri bahwa aktualisasi diri perempuan Indonesia masih terpasung oleh stigma masyarakat. Eksistensi perempuan dalam beberapa aspek seperti pembangunan masih minim bahkan dinomor sekiankan dan tetap laki-laki yang menjadi utama. Padahal jika perempuan diberi kesempatan yang sama seperti laki-laki dan mengembangkan potensi semaksimal mungkin, justru berpotensi besar dalam pembangunan di Indonesia.

RELEVANSI GENDER TERHADAP PEMBANGUNAN

Lantas kemudian, apakah "Patriarki" yang dibentuk oleh masyarakat membawa dampak buruk bagi pembangunan di Indonesia? Atau justru sebaliknya?

Dalam hal pembangunan, perempuan yang ikut berpartisipasi kerap kali diperlakukan secara tidak adil dan dianggap memiliki kemampuan yang lemah emosional maupun tanggung jawab. Subordinasi perempuan yang masih terus mengintai pada masyarakat Indonesia tentu berakibat pada rentanya tindakan kekerasan pada perempuan serta eksploitasi terhadap tenaga kerja perempuan. Kerap kali, hal kesetaraan gender masih dipandang sebelah mata. Hal tentang kesetaraan gender di Indonesia masih menjadi hal yang sangat tabu, sebab potensi yang dimiliki perempuan-perempuan Indonesia masih dibiarkan terkubur jauh di dalam stigma yang bernama Patriarki. Salah satu pendekatan dalam ilmu Hubungan Internasional terkait perempuan dalam pembangunan, Gender And Development (GAD) menjelaskan tentang bagaimana suatu Negara seharusnya memanfaatkan sumber daya yang dimiliki semaksimal mungkin dalam upayanya membangun kesejahteraan negaranya. GAD merupakan perspektif yang berfokus pada pemberdayaan perempuan terhadap pembangunan. Pendekatan ini melacak akar-akar sub-ordinasi, (dalam hal ini khususnya perempuan), pengaruh kolonial, serta sejarah terhadap posisi negara-negara dalam tatanan ekonomi Internasional. Pendekatan ini memahami tujuan pembangunan dan perempuan dalam pengertian kemandirian dan kekuatan internal. Meski sudah sejak lama digaungkan terkait perlindungan hak-hak perempuan, pendekatan GAD, bahkan SDGs sekalipun tampaknya masih cukup sulit untuk menghilangkan budaya patriarki yang menjamur di masyrakat Indonesia. Atau setidaknya memberi peluang yang setara untuk perempuan agar dapat mengembangkan potensinya semaksimal mungkin.

Ada begitu banyak upaya yang telah dilakukan untuk menghilangkan kesenjangan antara perempuan dan laki-laki. Upaya perlindungan terhadap perempuan serta edukasi terkait kesetaraan gender pun telah banyak dikampanyekan, namun masih cukup sulit untuk menghilangkan "Bad habit" sebagian masyarakat Indonesia yang masih menganggap remeh kemampuan perempuan dan mengubur potensi besar yang dimilikinya. Dalam sila kelima Pancasila tertulis, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".  garis bawahi kata seluruh rakyat Indonesia, artinya berlaku untuk seluruh kalangan masyarakat termasuk perempuan. Sila kelima Pancasila secara langsung menegaskan bahwa perempuan juga berhak mendapat keadilan sosial. Perempuan di Indonesia berhak mendapatkan keadilan baik dalam pekerjaan, penghasilan, dan kesempatan yang setara dan tidak di beda-bedakan, sehingga ideologi "Patriarki" sangat tidak dibenarkan, justru akan menjadi batu sandungan bagi Indonesia untuk mencapai kesejahteraan bangsa.

Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat berlimpah, bayangkan jika seluruh kekayaan itu dapat dikelola oleh orang-orang yang berpotensi, perempuan dan laki-laki memiliki hak yang setara untuk mengelola dengan potensinya masing-masing, maka angka kemiskinan di Indonesia akan berkurang, pola pikir masyarakat mulai terbuka dengan adanya kesetaraan gender, perekonomian Indonesia akan meningkat, dan masih banyak lagi peluang-peluang besar lainnya jika seandainya patriarki itu tidak pernah ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun