Mohon tunggu...
Terdokumentasikan
Terdokumentasikan Mohon Tunggu... Tutor - Jurnalis

Cultural Studies Enthusiast (Melihat, Mendengarkan, Membaca, Berdiskusi)

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Krisis Bahasa

20 Desember 2013   23:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:41 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Pasti anda tahu berita yang terkini tentang Vicky, seorang tunangan penyanyi dangdut yang cukup terkenal yang sangat kontroversi dengan gaya khasnya dalam berbicara. Alih-alih mau terlihat seperti orang intelektual tapi, disayangkan dia cukup gagal menerapkannya. Cukup layak untuk menjadi seorang pelawak, tetapi disisi lain apakah pernah terpikir bahwa hal-hal yang terlihat sepele seperti itu dapat merusak bahasa kita. Percaya atau tidak, balik lagi kepada anda bagaimana menilainya. Jika dipikir sejenak, Indonesia adalah termasuk orang-orang yang berbudaya latah dalam sisi hal-hal kontroversial dengan kata lain ‘tren’. Beri contoh : smartphone, korean wave, sosial media,bahkan, pernah dengar kata hipster? Yang melabelkan diri mereka dengan anti mainstream atau biasanya dibilang orang-orang yang tidak suka hal-hal umum tapi, disatu sisi mereka secara serempak menyukai hal itu. Seakan-akan ada kriteria untuk menjadi hipster tersebut. Itukah yang disebut anti mainstream sedangkan, mereka lebih condong ke komersialisasi sebuah tren saja. Semua itu hanya contoh kecil saja dan masih banyak lagi jika dijabarkan. Satu hal menjadi tren semua ikut tanpa disaring baik buruknya! Memang mebangun citra diri adalah hak semua manusia, mau dipandang bagaimana  mereka ? Mau dikenal seperti apa ? Apa yang merepresentasikan diri mereka ? Sampai-sampai lupa sama mereka sebenernya. Itulah yang terjadi dengan bahasa kita sekarang, sangat beragam. Karena terlalu beragam tidak tahu mana yang asli.

Ketika kita duduk dibangku SD sampai dengan SMA mungkin saja kita menganggap bahasa Indonesia sebagai hal yang sepele, dikarenakan kita berpikir ah,itu gampang kok! Kan bahasa kita! Ngapain belajar lagi, masa bahasa indonesia aja nggak bisa ngerjain. Padahal tidak tahu kedepannya dan tidak memikir manfaatnya bahasa indonesia yang kita pelajari itu. Bahkan, mungkin ada sebagian sekolah atau guru yang juga tidak menjelaskan pentingnya bahasa kita dan adapula guru yang ikut meremehkannya dengan jarang masuk atau alasan-alasan semacamnya yang membuat kita tambah malas dan menambah kendala kita untuk mempelajari bahasa ibu kita sesuai dengan struktur bahasa Indonesia itu ataupun kaidah kaidah yang ada. Memang benar adanya kita sulit mempertahankan bahasa Indonesia yang baik dan benar yang sesuai dengan kaidah- kaidah yang ada. Karena lingkungan seakan mendukung lunturnya keaslian bahasa Indonesia itu sendiri. Padahal bahasa adalah cerminan bangsa dan menunjukkan struktur berpikir suatu masyarakat. Tidak perlulah membahas bangsa dan masyarakat. Bahasa kita yang kita gunakan sehari-hari itu menunjukkan cerminan diri kita ke orang lain, lebih jelasnya refleksi stuktur berpikir kita. Kembali ke masalah Kontroversi seorang Vicky tadi, dikarenakan oleh orang lain dianggap lucu, lalu dipergunakan secara berulang. Membentuk kebiasaan baru, menghapus ingatan lama. Segitu cepatnyakah ? Tentu. Dikarenakan mudahnya masyarakat kita terpengaruh dengan hal yang baru. Terlihat tidak ada kestabilan dalam masyarakat atau bahkan, masyarakat tidak dapat lagi membedakan baik dan buruk. Segitu terpuruknyakah bangsa kita ?

Bangsa kita adalah bangsa yang besar, orang asing perlahan berbondong-bondong mempelajari bahasa kita untuk meraih keuntungan. Ada sebuah kesimpulan dari salah satu dosen FISIP UNPAD kita yang berbicara seperti ini “ Indonesia sekali dipuji,maka semua yang ada disaku celananya dikeluarkan”, jelas kita ini segmen pasar yang sangat menggiurkan bagi mereka yang “asing” itu. Cukup dengan bisa bahasa Indonesia, bisa mengerti kita , bisa melihat pasar, bisa membuat tren yang baru lagi? Jelas kita ini konsumen yang setia bagi mereka perusahaan gadget, fashion, sosial media dan lain lain. Lalu, Kenapa tidak kita saja yang dapat melihat pasar itu? Kenapa tidak kita saja yang mempelajari bahasa asing dan mencari keuntungan di negara lain? Kenapa harus kita yang dibodohi ? Karena kita sudah tidak tahu lagi struktur bahasa yang benar, kita sudah tidak tahu lagi tata bahasa yang benar, kita sudah tidak tahu lagi mana yang budaya kita mana yang bukan. Tragis memang, tapi itulah bangsa kita.

Sudah saatnya kita berbenah diri, setidaknya dimulai dari yang muda, dimulai dari diri sendiri. Perlahan-lahan kita menghapus anggapan kita bahwa bahasa Indonesia itu adalah sesuatu hal yang remeh, sesuatu yang kuno atau apalah itu. Kalo bangsanya saja tidak  bisa menghargai bangsanya sendiri, bagaimana bisa bangsa lain menghargai bangsa kita? Mulailah dari bahasa kita yang mencerminkan diri kita dan biarlah orang menilainya, begitu juga untuk masyarakat kita. Refleksi diri adalah refleksi bangsa kita, maka mulailah dari yang kecil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun