Indonesia dinobatkan sebagai negara ke 4 pengguna internet terbanyak di dunia. Menurut laporan We Are Social (2024) sebanyak 66,5% masyarakat Indonesia menggunakan internet dan generasi Z sebagai pengguna terbanyak. Generasi Z atau yang sering kita panggil Gen Z adalah generasi yang lahir di tahun 1997-2012. Gen Z terkenal akan kemahirannya dalam menggunakan teknologi sehingga generasi ini disebut juga sebagai digital native. Â
Kemahiran gen Z menggunakan teknologi terutama untuk berselancar di media sosial nyatanya tak selama nya berdampak baik bagi interaksi generasi tersebut. Survei Misinformation Susceptibility Test atau MIST yang dikembangkan oleh psikolog di Universitas Cambridge menunjukan bahwa gen Z lebih rentan terkena berita hoax daripada orang tua.
 Cahterine Beauvais (2022) dalam penelitian nya bertajuk Fake News : Why Do We Believe it? Menunjukan bahwa seseorang akan lebih bertahan/percaya dengan berita hoax dikarenakan beberapa faktor yakni kognitif (konfirmasi bias), pendidikan yang rendah serta emosional. Kurangnya kecerdasan emosional dan kognitif seseorang maka berita hoax dapat menyebabkan polarisasi dalam masyarakat.
Polarisasi dalam media sosial adalah fenomena di mana pengguna terbagi ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan pandangan atau keyakinan tertentu, sering kali memperkuat perbedaan dan mengurangi kemungkinan dialog atau pemahaman lintas kelompok.
 Contoh dari polarisasi di media sosial terlihat dari fenomena berita hoax Covid-19 dan kampanye presiden 2019 yang menyebabkan masyarakat terpolarisasi menjadi dua kubu yang sangat bertentangan. Apalagi saat ini, dengan adanya fitur bubble (algoritma) akan semakin mudah berita hoax mempolarisasi media digital.
Filter bubble adalah sebuah algoritma sistem yang memungkinkan penggunanya untuk mendapatkan konten serupa sesuai dengan perilakunya ketika menggunakan layanan internet dan web. Sarjana bernama Pariser merupakan orang pertama yang mulai memahami keberadaan algoritma ini ketika menganalisis aktivitas teman-temannya di Facebook.Â
Ia menyadari bahwa sistem lebih sering menampilkan unggahan dari teman-temannya yang berpandangan liberal dibandingkan dengan mereka yang memiliki pandangan konservatif.
 hal itu dikarenakan "algoritma sistem" tahu topik apa yang sering klik di Facebook. Apa yang dialami Pariser tersebut dinamakan echo chamber (ruang gema) yakni fenomena yang terjadi ketika seseorang hanya menemukan informasi atau pendapat yang sejalan dengan pandangannya sendiri.
Algoritma media sosial dapat menjadi celah penyebar berita hoax untuk memperkuat massa agar lebih percaya dengan berita yang dibuatnya. Orang dapat memanipulasi publik dengan algoritma dan ruang gema untu menyebarkan misinformasi. Cinelli et al (2021) menunjukan ruang gema memberikan efek pada penyebaran rumor dan misinformasi menjadi lebih cepat dan mempengaruhi polarisasi.
Bila kita kaitkan dengan teori ekologi media milik McLuhan yang menyatakan bahwa media secara umum dapat membentuk dan mengorganisir kebudayaan manusia, maka dalam hal ini dapat dikatakan media sosial mempengaruhi interaksi netizen di internet. Â