DAWALA
Bagi para penikmat kesenian Wayang, baik wayang kulit atau wayang golek, pasti kenal dengan sosok yang satu ini, DAWALA. Dalam khazanah seni Wayang Kulit mengenalnya sebagai PETRUK. Dawala atau Petruk ini, termasuk Cepot alias Astrajingga dan Gareng, adalah anak dari Ki Lurah Semar Badranaya dan Nyai Sutiragen dari Kampung Tumaritis, sebuah wilayah bagian dari Kerajaan Amarta. Kerajaan Amarta adalah sebuah kerjaan yang dikendalikan oleh Pandawa. Dalam sebuah versi, mereka bertiga, Cepot, Dawala dan Gareng adalah bukan anak kandung dari Ki Lurah Semar. Mereka itu hasil adopsi. Sementara Ki Lurah Semar sendiri sesungguhnya adalah jelmaan dari Sang Hyang Ismaya, Kakak dari Sang Hyang Antaga (Togog Tejomantri) dan Sang Hyang Manikmaya (Batara Guru). Bagi pembaca yang ingin mengenai sekilas riwayat Semar Badranaya bisa dilihat DI SINI.
DAWALA JADI RAJA adalah salah satu kisah dalam dunia pewayangan yang menceritakan tentang sosok Dawala yang bisa menjadi Raja. Siapa yang bisa menyangka bahwa sosok yang sederhana dan tidak punya penampilan potongan Ksatria, bisa menjadi Raja. Kekuatan apa yang bisa mewujudkan itu?
Dikisahkan bahwa Batara Guru dan Batara Narada, dua penguasa Kahyangan Suryalaya, mencuri Mustika Jamus Kalimusada milik Semar Badranaya yang disimpan oleh Prabu Yudhistira di Amartapura. Kekuasaan mutlak mereka sebagai Raja Di Raja terganjal oleh Mustika Jamus Kalimusada. Aksi pencurian mustika tersebut juga bisa jadi didorong oleh perseteruan lama antara Batara Guru dan Semar Badranaya. Langkah selanjutnya, setelah dihasut oleh Togog yang dulu pernah berseteru dengan Semar saat perebutan kekuasaan di Kahyangan Suryalaya, Batara Guru memerintahkan Batara Narada untuk menghabisi Semar sekaligus. Sebagai Patih, Batara Narada, mematuhi perintah Batara Guru. Selama pengembaraannya di muka Bumi Batara Guru dan Batara Narada menyamar sebagai sepasang Raja dan Patih ras Raksasa Sangnalendra dan Kalagundu. Togog sendiri menyamar sebagai Kaladwiksa.
Saat Batara Naradaberhadapan dengan Semar, Batara Narada lari tunggang langgang setelah didamprat habis-habisan oleh Semar. Semar memang sudah tau belangnya Batara Narada. Semar berpikir sekaranglah saat yang tepat untuk balas mengerjai mereka berdua. Raga badag yang mereka berdua tinggalkan di Kahyangan sana tentu sedang kosong. Segera semar membawa cepot dan Dawala ke Kahyangan. Sebagai anak keturunan Sang Hyang Tunggal, penguasa Kahyangan sebelumnya, tentu Semar punya akses yang luas ke seluruh pelosok jagat termasuk Kahyangan Suryalaya. Betul apa yang telah dipikirkan Semar, Raga Badag Batar Guru dan Batara Narada dalam keadaan kosong. Kembali di sinilah kekisruhan terjadi. Perebutan kekuasaan, bahkan hanya sekedar menggantikan kekuasaan yang bukan haknya, menimbulkan perselisihan untuk menentukan siapa yang paling berhak.Astrajingga merasa berhak untuk menempati raga badag Batara Guru dengan dalih bahwa dia adalah anak tertua. Anak tertua harus lebih berkuasa, dalih Astrajingga. Itu jelas menentang perintah orang tuanya, Semar Badranaya, yang membuat aturan main ‘kakak ke kakak, adik ke adik’ dalam hal penempatan raga badag tersebut. Artinya, Astrajingga sebagai Kakak dari Dawala harus masuk ke raga Batara Narada yang lebih tua dari Batara Guru. Sebaliknya Dawala sebagai adik Astrajingga masuk ke dalam raga Batara Guru, sekaligus menjadi Raja. Jelas saja Astrajingga protes keras karena itu berarti dia harus menyembah kepada Dawala, adiknya. Dilihat dari sudut kepatutan, Dawala memang lebih patut menempati raga Batara Guru dari pada Astrjingga. Dari awal Dawala memang menolak diposisikan seperti itu oleh Semar. Dawala merasa tidak mampu untuk mengemban tugas berat sebagai raja. ‘Aku ra popo’ atau ‘Aku ra mikir’ begitulah kira-kira pikir Dawala dengan tawaran posisi raja. Tapi karena ini adalah tugas dari ayahanda Semar Badranaya yang berarti adalah tugas semesta dan dia percaya kepada Semar yang akan membackup dia sebagai raja, Dawala bersedia melaksankannya. Sedangkan Astrajingga begitu berambisi dan gengsi karena harus menyembah adiknya jika Dawala yang menjadi raja.
Dari segi apapun, seperti usia, karir politik, fisik, penampilan, kekayaan,dll, Prabowo bisa dipastikan jauh melebihi Jokowi. Jadi, bisa dianggap Prabowo adalah Kakak. Bolehlah kita personifikasikan Prabowo dengan Astrajingga alias Cepot dalam kisah Dawala Jadi Raja ini. Sebaliknya Jokowi sebagai adik, Dawala. Bayangkan saja apa yang ada dipikiran Prabowo manakala dia menyadari bahwa orang yang sebelumnya dia gadang-gadang sebagai Gubernur dan segala sesuatunya di bawah dia, kini harus bersaing dan berpotensi untuk menjadi presiden? Seperti itulah kira-kira yang berkecamuk dalam benak Astrajingga.
Saat itulah seorang Semar Badranaya dituntut untuk bersikap bijak. Kemana Semar harus berpihak? Apakah harus netral dan membiarkan Astrajingga dan Dawala menyelesaikannya sendiri? Semar harus membuatkan sayembara untuk mencari pemenang supaya adil.
Maka dilakukanlah sayembara ‘barangsiapa yang bisa menahan nafas lebih lama, maka dia yang akan menempati posisi raga Batara Guru sebagai raja’. Menahan nafas bisa dimaknai dengan menahan diri dari keinginan duniawi, menahan diri dari keinginan menghujat, fitnah atau gibah. Mereka yang bersikap dan berpikir tenang, tidak panik, fokus dan kurus biasanya lebih bisa menahan nafas yanga cukup lama. Tidak percaya? Tanya aja sama orang yang suka menyelam. Dan pemenangnnya adalah…DAWALA. Tenang, fokus dan tidak nggrusah-nggrusuh. Seketika itu juga Dawala merasuk ke dalam raga badagBatara Guru, maka Dawala menjadi Raja. Bahkan menjadi raja di raja.
Petunjuknya jelas sekali bahwa barang siapa yang bisa menahan diri [nafas] lebih kuat, dialah yang layak menjadi Presiden. Andaikan sesederhana itu pemilihan presiden…..
Proses peralihan kekuasaaan/kepemimpinan dimana pun, dalam tradisi apapun, bahkan dilingkungan agama manapun, selalu menarik dan menghembusakan aroma tak sedap tentang fitnah, caci maki, intrik, kelicikan, nafsu dan darah. Sebagiannya berhasil menutupi aroma tak sedap tersebut dengan wangi-wangian setelah meraih kekuasaan sehingga semuanya bisa tampak baik-baik saja.
Mempunyai kekuasaan, dalam lingkup sekecil apapun, pasti menyenangkan ( Yang beranibilang tidak setuju, sini biar saya gampar biar bangun dari mimpinya…). Biasanya yang tidak setuju bakal bilang ‘jadi pemimpin atau penguasa itu besar tanggung jawabnya, hidupnya tidak normal, waktu untuk keluarga dan diri sendiri kurang, capek…bla…bla…bla…’. Yang sedikit munafik berkelit dalam kalimat ‘Aku ‘ra mikir’, ‘Aku ra popo’. Atau ‘Saya tidak mau termasuk orang baik yang mendiamkan’. Saya juga pernah dengar yang ini…’Ini panggilan dari Ibu Pertiwi’. Lha, terus ngapain kalian saling bunuh, saling hujat, saling fitnah kalau bukan untuk satu hal itu, KEKUASAAN?
Pernah ada yang menyatakan seperti ini : “Pada hakekatnya kekuasaan itu dari Allah. Dia akan berikan kekuasaan pada yang dikehendaki dan mencabutnya pada yang dikehendaki” (begitu kira-kira bunyinya). Saya tidak tahu kutipan dari hadits mana. Kedengaranya bisa termasuk kategori Demokrasi Spiritual. Kalau begitu, bagaimana kita tau kekuasaan yang diberikan kepada Barack Obama, Hitler, Soeharto, Soekarno dan lain-lain itu anugerah dari Tuhan? Kriterianya seperti apa kekuasaan yang dianugrahkan Tuhan itu? Membawa kebaikan?(Relatif!). kira-kira jika Prabowo atau Jokowi berkuasa, apakah yakin kekuasaannya dari Tuhan?
Para peminat kekuasaan politik di pemerintahan ternyata tidak cukup bermodalkan ‘menahan nafas (diri)’ atau punya moral saja. Mereka harus punya ‘gizi’ untuk bisa bertarung memperebutkan kekuasaan itu. Jadi ingat nasibnya Cak Nur yang harus undur dari konvensi Partai Golkar jelang pemilu 2004 lalu karena tidak punya ‘gizi’. Dengan kata lain, mereka harus punya tim sukses, strategi, penguasaan media dan sebagainya. Semua itu tentu membutuhkan pendanaan yang tidak sedikit. Maka mereka harus bersinergi dengan pengusaha untuk memperoleh pendanaan. Bila perlu menjalin komunikasi dengan pihak luar/asing yang punya kepentingan di negara atau wilayah pihak yang sedang mengadakan pemilihan. Dibuatlah nota-nota kesepahaman yangberusaha keras untuk dijaga agar kalangan mereka saja yang tau point-pointnya. Dukungan tersebut bisa saja dibarter dengan proyek, kekayaan alam, posisi di pemerintahan dan lain-lain, maka dana pun mengalir. selain itu, untuk memperkuat posisi mereka dalam perebutan kekuasaan, mereka juga bisa menggandeng pihak angkatan bersenjata atau kepolisian (Ssssstt…katanya sih aturannya harus netral). Militer atau polisi yang aktif biasanya sih tidak seterang pensiunan dalam mendukung jagoannya, walaupun ada juga yang terang-terangan (katakan saja, ketahuan dengan terang tapi santai saja….hehehe…). Cerita tentang kekuasaan itu tidak berhenti sampai tergenggamnya kekuasaan. Selanjutnya bagaimana cara mempertahankan, memanfaatkan dan mempergunakannya.
Andaikan pemilihan Prsiden itu sesederhana perlombaan menahan nafas…..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H