Mohon tunggu...
Rus Yono
Rus Yono Mohon Tunggu... -

Bukan siapa-siapa, tidak ingin menyakiti siapa-siapa, hanya ingin berteman dengan siapa saja...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sayembara Dewi Kunti (Bag. 1)

14 Mei 2014   21:56 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:31 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada satu kesempatan singgah di tanah kelahiran saya, tanah pasundan, dalam sebuah perjalan panjang baik dalam arti yang sesungguhnya atau filosofis, saya bergerilya dari toko ke toko mencari kaset wayanggolek.Status-status dengan petuah-petuah sunda di profil Blacberry Messenger salah seorang karib yang saya baca, mampu melesatkan ingatan saya pada masa kanak-kanak di tatar parahyangan. Ingatan pada pagelaran wayang yang pernah mewarnai masa-masa itu. Tidak terlalu larut untuk anak yang masih terlalu kecil untuk menikmati pagelaran wayang golek sampai menjelang subuh, walapun ditakut-takuti bahwa dunia wayang golek penuh dengan mistik. Bakal ada mahluk halus berwujud raksasayang akan hadir dalam perjalanan pulang. Para orang tua di tempat saya dulu menyebut mahluk raksasa ini adalah “Buta Hejo”. Dalam bahasa indonesia artinya Raksasa Hijau. Sangat boleh jadi ide wujud tokoh superhero yang bernama HULK dari Negeri Paman Sam berasal dari Buta Hejo.

“Ngindung ka waktu, mibapa ka zaman. Jeung kudu bisa nganjang ka pageto” , itu salah satu bunyi statusnya. Yang artinya secara langsung adalah “ber-Ibu pada waktu, ber-Bapak pada zaman. Dan harus bisa berkunjung pada hari lusa (masa depan)”. Makna filosofisnya kurang lebih kita harus menghormati waktu seperti layaknya kita menghoramti Ibu kita, jadikan zaman sebagai pemandu karena zaman akan senantiasa menjadi penjaga kita seperti Bapak menjaga kita. Waktu dan zaman bukan dalam tinjauan etimologi yang punya arti yang identik seperti halnya masa, era atau periode. Waktu di sini difahami sebagai revolusi matahari, rotasi bumi atau detak jarum jam dinding. Sementara zaman ditenggarai sebagai ruang dimana detak jam dinding itu bergema, semesta dimana bumi dan matahari dicangking atau pola yang tercetak pada setiap pergeseran waktu. Kita lahir dan dibesarkan oleh waktu dan zaman, maka tunduk dan patuhlah pada keduanya sebagai Ibu-Bapak kita secara filosofis. Setelah itu bisa dilakukan, yakinlah bahwa selanjutnya kita akan bisa nganjang ka pageto -berkunjung ke hari lusa. Dengan apa? Teknologi mesin waktu yang bisa menempatkan raga kita di masa depan, sampai saat ini, masih milik cerita-cerita Hollywood. Tapi bisa dimaknai bahwa kita pun harus bisa meletakan pikiran kita pada masa depan. Singkatnya, kita harus punya visi dalam hidup.

Masih banyak petuah-petuah lain yang bisa digali dalam pagelaran cerita wayang golek. Bahkan setiap tokoh dalam wayang golek memiliki makna filosofis yang dalam. Selain itu juga, saya selalu kagum dengan keahlian para dalang dalam berganti-ganti suara dalam setiap pergantian tokoh wayang yang berperan. Dan, tidak tertukar sedikit pun. Seperti sudah menjadi kesepakatan bersama antar para dalang wayang, khususnya wayang golek di Jawa Barat, suara tokoh-tokoh utama pewayangan sangat identik satu sama lain. Suara Bima akan terdengar berat dan kasar menandakan sosoknya yang keras dengan perawakan tinggi kekar. Gatot Kaca sebagai anak dari Bima memiliki karakter suara yang hampir sama. Sementara Arjuna atau Pandu terdengar kemayu, hampir menyerupai suara perempuan, sesuai dengan karakternya sebagai satria tampan di pewayangan. Dengan hanya mendengarkan suaranya saja, kebanyakan masyarakat sunda masih mau berlama-lama mendengarkan jalan cerita wayang golek.

Sebagai boneka kayu yang sangat terbatas pergerakan sendinya, wayang golek di tangan dalang bisa menari begitu gemulai dan harmonis dengan tepukan gendang. Wayang-wayang tesebut bisa terlihat begitu hidup seperti memiliki ruh. Bahkan saya pernah melihat pagelaran wayang golek dengan wayang yang bisa muntah, mengeluarkan darah atau pecah kepalanya dalam sebuah pertarungan. Selain tariannya yang terlihat begitu luwes, lentur dan gemulai saat bertarung pun tampak sangat hidup. Pukulan, reaksi pukulan, tendangan, bantingan dilakukan dengan teknik yang sepenuhnya manual. Tidak ada bantuan tali, visual efek atau teknologi robot. Semuanya dilakukan seorang diri! Sepasang tangan Dalang yang sudah sangat terlatih!

Pagelaran wayang golek yang terakhir saya tonton langsung di tempat asal saya adalah sekitar awal era tahun 2000. Setelah itu sudah tidak terdengar lagi pagelaran wayang golek. Peringatan hari kemerdekaan Tujuh Belas Agustus pun lebih sering diramaikan oleh Pesta Rakyat berupa Pentas Musik. Semoga bukan karena alasan bahwa menonton wayang sudah membosankan dan takut dibilang ketinggalan zaman. Kalau masalah biaya, saya pikir Pagelaran Wayang Golek tidak akan lebih mahal daripada pentas musik. Kecintaan pada Seni Budaya lah yang bisa menggerakan orang untuk mengadakan Pagelaran Wayang Golek. Saya harus mengapresiasi stasiun televisi TPI dulu yang paling sering menayangkan tontonan Pagelaran Wayang Golek semalam suntuk. Saya yakin, masyarakat Sunda masih banyak yang suka mendengarkan atau menonton pagelaran wayang golek. Seorang penjual Mie Ayam di daerah saya memikat para pembeli dengan memutarkan suara pagelaran wayang golek pada malam hari. Dan, para pembeli pun akan berkumpul menikmati suara pagelaran wayang golek sampai tuntas sambil menikmati semangkuk Mie Ayam yang akan bertambah lagi jika pagelaran berlangsung lebih lama.

Perburuan saya tadi hanya menghasilkan satu set cakram padat berisi cerita wayang dengan lakon “SAYEMBARA DEWI KUNTI”. Itu pun hanya tersisa satu-satunya. Dan setelah saya coba putar, cakram padat bagian satu dari 4 cakram padat dalam satu set cerita, tidak berjalan dengan baik. Artinya saya kehilangan bagian pembukaan berdurasi 1 Jam. Biasanya prosesi ‘tatalu’, begitu saya dengar Ibu menyebutnya, dalam pagelaran wayang golek akan berlangusung selama 1 jam pertama. Maka, saya masih beruntung bahwa cerita baru dibuka pada cakram padat bagian dua. Tapi, saya tetap kecewa karena saya kehilangan narasi pembuka sebagai prolog yang pastinya berisi banyak petuah-petuah berharga. Dari rekaman pagelaran wayang golek dalam cakram padat inilah saya baru menyadari bahwa ternyata dialog dalam pagelaran wayang banyak sekali kata-kata kasar dalam bahasa sunda yang dilontarkan oleh Punakawan, para wayang antagonis atau para raksasa buta hejo. Tapi justru itu yang bisa menghidupkan tokoh-tokoh tersebut. Meminjam istilah dunia selebritas bahwa kata-kata kasar itu adalah sebagai tuntutan peran. Masa penjahat atau buta hejo marah-marah dengan bahasa halus? Tapi herannya kesukaan saya waktu kecil nonton wayang golek, kata-kata kasar itu luput dari ingatan saya. Tidak melekat sedikit pun. Yang selalu saya ingat adalah bagaimana saya dan teman-teman tertawa terpingkal-pingkal saat para Punakawan, Astrajingga alias cepot dan kawan-kawan perang kata-kata dengan para raksasa. Kami juga tidak merasa ngeri sedikit pun saat kepala raksasa itu terbelah di hajar Gada Rujak Polo milik Bima.

Bagaimanakah kisah "Sayembara Dewi Kunti" selengkapnya? Siahkan simak dalam postingan saya selanjutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun