Hormat untuk 2 Capres kita.
(DIKLATSAR YONIF 312 WIRATAMA, MANADO)
Entah kenapa, dalam momen demokrasi dalam rangka suksesi kepemimpin dalam berbagai tingkatan organisasi sejak dari masa kuliah-kebetulan saya mulai melek organisasi pada masa kuliah-, pilkada, kepemudaan sampai kenegaraan saya selalu mengedepankan perasaan dan suara hati. Saya tidak pernah berhitung tentang kemenanngan, bisikan hati lebih menjadi pijakan. Sesungguhnya memang hal itu adalah tabu dalam dunia politik yang tidak pernah mengenal kawan dan lawan abadi. Sepanjang kepentingannya sama, dia akan menjadi karib. Hemat saya politik adalah berhitung, tapi tidak matematis seperti 2 X 1=2.Dalam politik 2 X 1 bisa sama dengan 3, 4, 5 atau 21, tergantungbagaimana isu berkembang.
Saya bukan bagian dari siapapun, Prabowo atau Jokowi. Dalam hal apapun, dari dulu, dalam hal menentukan pilihan, saya tidak pernah melakukan kalkulasi-kalkulasi yang njlimet. Saya percaya pada suara hati. Saya tidak punya motif apa-apa, karena siapa pun Presidennya, saya toh harus bekerja dan mencari nafkah sendiri. Saya pengen ketawa dengan reaksi saudara-saudara saya saat jagoan mereka dikelitiki dalam tulisan saya. Ada yang mencaci maki, ada yang datar seperti menahan kesal, sampe ada yang bernada mengancam. Yang lebih lucu lagi, tulisan yang isinya secara umum simpatik pun langsung dikomentari pedas setelah tayang. Untuk yang terakhir ini ada beberapa kemungkinan. Pertama, dia tidak sempat baca isi tulisan keseluruhan. Mungkin karena lagi kejar target operasi. Kedua, ada juga yang sempat baca tapi berhubung sudah ‘buta mata, buta hati dan buta pikiran’ tidak bisa menangkap pesannya. Ketiga, membaca tapi memang tidak faham. Bisa jadi karena IQ-nya kurang. Tapi yang paling menentukan menurut saya adalah kemampuan mengendalikan emosinya kurang. Dan saya yakin mereka itu masih anak-anak dan baru berkiprah di pesta demokrasi dan satu pun tidak ada yang berani menampakan batang hidung di akunnya. Kecuali tante Ellen Maringka, seperti saya yang dengan bangga selalu memasang wajah asli. Bukan karena saya ‘ganteng’ (istri saya sering bilang gitu…hehehe) atau Tante Ellen Maringka ‘cantik’ (saya bertaruh suaminya pasti setuju…), tapi karena bagi saya tidak ada yang perlu ditutup-tutupi dan tidak ada yang perlu dikawatirkan.
Satu hal lagi, dalam hal pilihan politik, saya tidak setuju dengan isu agama. Bagi saya agama jangan dikerdilkan dengan sebuah jabatan, kekuasaan tidak usah mengatasnamakan agama, agama itu ruh, biarkan dia bernafas dalam kehidupan walau pun tidak tampak. Prof. Nurcholis Madjid pernah mengatakan ‘Islam, Yess. Partai Islam, No’.Tidak perlu menyudutkan salah satu Capres dengan isu salah satu agama. Semua kawan-kawan saya di Sulawesi Utara yang beragama Nashrani terbagi dua sama banyak memiliha antara Jokowi dan Prabowo. Kalau saja semua kawan-kawan saya tersebut semuanya mendukung Jokowi, mungkin saya bisa saja percaya bahwa Jokowi ditunggangi agenda kaum misionaris seperti yang sering saya dengar dituduhkan oleh pihak lawannya. Walaupun begitu, saya tetap pada prinsip bahwa agama tidak boleh mempengaruhi pilihan politik.
Kadang kita tidak menyadari bahwa hal-hal kecil, yang luput dari perhatian dan pemikiran kita, bisa berperan dalam menentukan pilihan kita. Saat kita sudah merasa begitu yakin dan bulat dengan pillihan kita, seketika berubah hanya dengan sebuah tindakan atau peristiwa kecil yang berkaitan dengan pilihan kandidat yang terabaikan. Seperti apa yang dialami oleh Ahmad Dhani yang tersentuh oleh sikap Prabowo yang melepas alas kaki saat bertamu di rumahnya setelah sebelumnya Ahmad Dhani merasa kesulitan untuk menemui Jokowi. Apalagi Jokowi, menurut pengakuan Ahmad Dhani, tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun terima kasih kepada Ahmad Dhani setelah didukung pada Pilkada DKI.
Boleh jadi kedua tim sukses pasanganCapres dan Cawapres menggulirkan isu-isu besar untuk menggiring opini pemilih kepada sasaran yang diharapkan supaya pilihan jatuh kepada pasangan jagoannya. Isu yang paling menyengat diantara keduanya adalah isu pelanggaran HAM-penculikan melawan isu rekayasa-pencitraan.
Saya percaya Prabowo berada di balik aksi penculikan aktifis mahasiswa, saya juga percaya Jokowi adalah bagian dari skenario besar kekuatan asing.
Saya percaya Prabowo mampu menjaga kedaulatan bangsa, saya juga percaya Megawati tidak akan tinggal diam jika Jokowi dan kawan asingnya macem-macem dengan negara ini.
Saya percaya Prabowo gagal membina kehidupan rumah tangganya, saya juga percaya Jokowi belum bisa dinilai berhasil mengatasi permasalahan Ibu Kota.
Dan,
Saya yakin Prabowo mampu menjadi Presiden RI, seyakin itu pula saya kepada Jokowi yang disokong penuh oleh Ibu Megawati.
Dalam menentukan pilihan saya tetap bersandar kepada suara hati, bukan karena hubungan pertemanan, ikut orang tua, terpengaruh media, mengharap seperak dua perak dari salah satu kandidat, taklid buta, apalagi karena isu murahan.
Diantara kita tentu masih banyak yang ingat salah satu kalimat yang muncul dalam film yang selalu diputar di malam 1 oktober pada masa pemerintahan presiden Soeharto:
Darah itu merah, Jendral!
Sebagai sebuah produk dari situasi, kebijakan dan pandangan politik, kalimat itu seolah ingin menegaskan bahwa politik tidak mengenal perasaan dan suara hati. Tapi saya tetap mendengarkan suara hati saya dalam menentukan pilihan. Kemenangannya akan berarti kemenangan suara hati dan kekalahannya akan semakin menguatkan anggapan bahwa suara hati adalah kidung senyap di dalam dunia politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H