Mohon tunggu...
Rusyd Al Falasifah
Rusyd Al Falasifah Mohon Tunggu... Belum Bekerja -

Pemerhati kekacauan pemahaman terhadap agama, filsafat, dan kegiatan keilmuan. Minat dibidang agama Islam, pendidikan, ilmu umum, filsafat, sosiologi, dan metodologi. Email: rusydalfalasifah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kasus Cubit: Siapakah yang Benar? Guru atau Murid?

3 Juli 2016   09:08 Diperbarui: 3 Juli 2016   09:28 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada beberapa hari yang lalu, dunia maya sempat dihebohkan oleh berita seorang guru yang diadili karena alasan mencubit siswanya yang bandel. Memang sih, mencubitnya sampai meninggalkan "jejak". Tidak terima, akhirnya siswa tadi melaporkan ke orang tuanya dan hingga kini malah dibawa ke peradilan. Hanya karena dicubit. Saya kira karena dicabuli -_-

Mungkin ini adalah imbas dari adanya konsep hukum yang belum tertanam secara mendalam dimasyarakat. Utamanya konsep "Kriminal-Juga-Punya-HAM-Jadi-Jangan-Kasar". Konsep yang biasanya dijadikan pembelaan supaya sanksi diperkecil --atau bahkan tidak jadi diberi sanksi-- ini memang sudah menyebar luas. Tapi tidak dipahami secara tepat. Yah, namanya juga Indonesia, kedengeran sedikit, ngerasa cocok, langsung diambil aja meski tidak tau pada hakikatnya konsep yang demikian itu bagaimana, benar atau tidak benar.

Terlihat bahwa salah satu masalah --atau mungkin satu-satunya masalah-- mendasar dalam kasus ini adalah kurang pahamnya sebagian wali murid akan konsep sanksi.  Alhasil, mereka menganggap bahwa sanksi yang fisik ataupun psikis adalah bagian dari kekerasan, dan kekerasa tidak boleh dilakukan. Sehinga, sanksi tidak boleh dilaksanakan.

Sanksi dalam dunia mendidik itukan tidak jauh berbeda dari sanksi pada negara, secara prinsip. Maksudnya, sanksi ini bukan untuk membully ataupun melecehkan, melainkan untuk menertibkan manusia pada aturan yang ada, supaya mencapai tujuan bersama. Kedudukan sanksi dalam kehidupan masyarakat atau sekumpulan manusia yang hendak mencapai tujuan tertentu adalah sebagai salah penguat motivasi atau bahkan motivasi untuk tidak melaksanakan suatu hal yang seharusnya tidak dilaksanakan atau untuk melaksanakan apa yang seharusnya dilaksanakan (sederhananya, aturan). Misalnya, hukuman mati atau seumur hidup bagi pembunuh berencana, supaya manusia mau berpikir dua kali untuk melakukan itu. Atau dimarahi secara verbal (sanksi psikis) kepada anak yang tidak nurut orang tuanya. 

Batas kinerja sanksi memang sekedar ada pada menegakkan aturan, bukan mendidik. Mendidik itu beda lagi. Tapi apakah bisa diartikan sebagai pendidikan? bisa jika dilihat dari kacamata yang sama sekali berbeda. Misalnya, jadi ilmu tentang hukum atau wawasan tentang hukum tertentu. Yang jelas, pada hakikatnya, sanksi dalam hukum bukan untuk mendidik.

Suatu sanksi bisa bermakna negatif jika sanksi yang diberikan tidak sesuai dengan signifikansi aturannya atau sanksi yang diberikan justru untuk kepentingan tertentu diluar kepentingan sanksi. Misalnya, koruptor, yang meraup kesejahteraan jutaan orang, hanya dihukum 4-6 Tahun. Atau mencuri sandal yang dihukum lebih besar daripada koruptor. Lalu, apa patokan dasar pemilihan sanksi? Pikir saya, ya, seberapa signifikannya sebuah aturan. Kalau aturan A itu lebih signifikan daripada aturan B, maka sanksi A lebih berat daripada B. Standartnya signifikansi itu apa? Sayangnya saya bukan ilmuan hukum, yang bisa menjelaskan lebih rinci ttg itu. Terlebih lagi, menurut saya masih ada yang kurang tentang "patokan dasar pemilihan sanksi" dan "syarat sanksi dikatakan salah/negatif". Tapi setidaknya beginilah konsep hukum yang kebetulan saya ketahui, dan ya, sebagian wali murid tentu salah mengartikan sanksi sebagai bully atau pelecehan.

Jadi sebenarnya ya sanksi pukulan, marah, dlsb tidak menjadi masalah. Itu wajar. Dengan catatan, sanksi yang diberikan itu sesuai dengan pentingnya aturan yang dilanggar dan bukan untuk kepentingan tertentu diluar kepentingan sanksi. Kalau tidak mau dapat sanksi, ya jangan melanggar aturan. Kalau benar-benar tidak mau diatur, ya jangan hidup bermasyarakat. Wong masyarakat ada untuk meraih tujuan bersama secara umum, bukan untuk mengkayakan diri dan memenuhi kebutuhan pribadi saja.

Sampai disini, siapa yang benar? saya belum bisa menentukan. Ini agaknya rumit.

Menurut saya, pemberian sanksi itu benar. Saya justru setuju dengan pemberian sanksi. Yang menjadi permasalahan saya sampai sekarang adalah alasan si guru memberi sanksi. Pikir saya, yang diberi sanksi adalah sesuatu yang apabila dilanggar dapat memberikan dampak negatif langsung dimasyarakat --tentu ini hanya sebatas pengetahuan saya. Misalnya narkoba, yang bisa merusak biologis orang-orang. Tentu, ini butuh sanksi bagi mereka yang menyebarkan narkoba dan mempengaruhi orang untuk mengkonsumsinya. Tapi, kalau tidak shalat? Ini masih dilematis bagi saya. 

Saya tau bahwa shalat itu perintah yang benar, dan salah kalau tidak dilaksanakan. Tapi, apakah itu artinya harus diwajibkan? bagaimana kalau semua orang wajib dimasukkan ke golongan agama tertentu, parpol tertentu, pandangan filsafat tertentu,fiqh tertentu, dlsb yang nantinya akan diberikan sanksi jika melanggar kewajiban tersebut? menurut saya, meskipun tujuannya benar, tapi caranya salah. Nah, ini masih pandangan umum, yang bertujuan secara umum. Lalu, bagaimana kalau terkait dengan dunia pendidikan? Jelas ini beda lagi, sebab tujuannya sudah berbeda dari kehidupan umum. Jika tujuannya sudah berbeda, pasti teknis aturannya berbeda juga. 

Dunia pendidikan tentu bertujuan untuk mendidik; mengantarkan anak dari yang tidak tau menjadi tau, tidak berkompeten menjadi berkompeten, dan tidak teratur menjadi teratur --dan tidak lupa asumsinya, yaitu disesuaikan dengan kebutuhan negara. Lalu, jika tujuannya adalah demikian dan obyeknya adalah seorang anak yang masih cengengesan, apakah pemberian sanksi ini benar? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun