Sedangkan sains, adalah studi tentang segala sesuatu yang bersifat observable (materi) berdasarkan metode empiris-falsifikasi. Metode itu bisa meliputi indirect method dan direct method. Pada prinsipnya, melalui kedua metode itu, hipotesis harus dikerucutkan dan terus dikerucutkan melalui sampai tersisa satu yang akan diuji, yang sangat kuat. Nah, jika telah lulus uji maka berbahagialah! Sains menemukan jawaban atas suatu fenomena. Sederhana? tidak, gambarannya saja yang saya sederhanakan.
Kemudian, apa yang dimaksud dengan sejalan dengan sains? Nah disini, sejalan saya maknai sebagai berada pada satu alur yang sama. Maknanya sama seperti ketika saya tau kawan seperjuangan yang ngajak jalan bareng: "Wah kebetulan aku juga mau lewat sana. Ayo barengan!". Berarti satu alur yang menjadikan keduanya berjalan bersama. Tapi, apakah alurnya itu? atau jelasnya, apa stadart dari sejalan itu? Disini ketidakjelasannya. Kalau standart sejalannya adalah ciri khas secara keseluruhan, maka jelas sekali tidak akan sejalan. Tapi beda lagi kalau standart sejalannya adalah hasilnya, yaitu pengetahuan yang pasti benarnya (certain knowledge). Pembahasan saya kali ini menggunakan standart yang kedua itu.
Lalu, apanya yang sejalan? Ini juga yang masih belum dijelaskan secara tepat. Katakanlah, sains dengan pengetahuan ilmiahnya dan agama dengan isi kitabnya. Masalahnya, apa yang dimuat dalam kitab belum banyak dijelaskan dan diluruskan oleh orang-orang. Dianggapnya, isi kitab = isi pengetahuan ilmiah seperti yang ada didalam fisika. Padahal, isi kitab itu seperti catatan-catatan fenomena dan respon historis berdasarkan dari satu sumber dan kemudian ditulis. Jadi, mananya yang mau dibandingkan? data historis dengan pengetahuan ilmiah? saya kira, asumsi ini masih sering dilupakan.
Oke, kita kembali lagi.
Bukankah, andaikata kitab yang mutlak benar itu mengatakan, bahwa manusia itu bernapas, maka pernyataan itu tetap benar sekalipun jika sains belum tau? selama benar, kenapa harus dikatakan salah? Sayangnya, kitab lebih cocok untuk dimaknai sebagai data historis yang memberi petunjuk dan pelajaran tertentu. Bukan buku keilmuwan masa lalu yang lebih canggih daripada kitab To Organon-nya Aristoteles. Jadi, setiap maksud dari suatu ayat dalam kitab keagamaan tidak bisa dipahami begitu saja, sebab catatan itu merupakan data historis. Pastilah terikat oleh berbagai variabel untuk memahaminya.
Mungkin sebagian dari kamu mengira bahwa isi kitab juga berisi pengetahuan. Misalnya tentang pembentukan manusia. Yang perlu diingat, itu semua (yang kalian anggap pengetahuan) adalah catatan-catatan fenomena dan respon historis berdasarkan dari satu sumber dan kemudian ditulis. Artinya, setiap perkataan yang ada terikat oleh asumsi budaya dan masyarakatnya (sederhananya, aspek sosiologisnya). Jadi, tidak bisa asal-asalan diambil, kemudian dibanding-bandingkan dengan kenyataan tanpa tau maksud sebenarnya.
Sekarang, katakanlah yang merupakan obyek telaah kita adalah pengetahuan ilmiah dalam sains dan maksud sebenarnya dari ayat tertentu. Maka, untuk tau sejalan atau tidak kita perlu tau maksud yang sesungguhnya dari suatu ayat. Dan lagi, menurut saya, tidak ada hubungannya antara sifat mutlak agama dengan sifat evaluasi sains dalam menentukan sejalan atau tidaknya dalam penentuan efek rugi atau untungnya. Sebab, yang berkaitan dengan rugi atau untung adalah benar atau salahnya pengetahuan yang sesungguhnya dari suatu ayat.
Yang berhubungan dengan sejalan atau tidak adalah cara penafsiran ayat, sebab dialah yang mengantarkan manusia kepada maksud dari/pengetahuan tentang ayat tertentu. Usaha kita sebagai manusia untuk benar-benar memahami isi ajaran agamanya itulah yang masih menjadi soal hingga kini. Ini sangat kompleks. Dengan mengetahui maksud sejatinya, maka kita bisa menjawab rumusan masalah tadi.
Faktanya, metodologi penafsiran kitab suci masih kacau dimasyarakat. Bervariasi. Mulai dari yang tradisi, hingga yang liberal, semuanya ada. Mulai dari yang kental dengan kekerasan dan perang, sampai yang kental dengan kebebasan, semua punya metodenya masing-masing. Belum ada metode yang diakui benar secara ilmiah dan umum dalam menafsirkan ayat. Jadi, menurut saya, masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa agama tidak sejalan dengan dasar metode penafsiran yang tidak jelas yang benar yang bagaimana; asal ngambil sample. Sedangkan, metode penafsiran yang benar masih kabur. Jelas ini akan menghasilkan kesimpulan yang salah,
Dengan demikian, gagasannya tidak bisa diterima. Kenapa? Singkatnya, karena kurang ilmiah. Rinciannya, karena yang pertama, cara menjawab masih kurang jelas (bagi saya) dan yang kedua, ada data yang belum jelas kebenarannya, yaitu metode memahami suatu ayat atau ajaran. Saya tekankan lagi, bahwa metode ini memiliki implikasi yang penting, sebab dengan metode maka manusia bisa memahami makna sejati/sebenarnya dari suatu ayat suci. Tanpa metode yang tepat, maka kita tidak bisa mengatakan sejalan atau tidak sejalan. Jadi, rumusan masalah tadi sebenarnya tidak terjawab secara ilmiah, baik oleh Numbers ataupun saya (melalui tulisan ini).