Mohon tunggu...
Rusti Lisnawati
Rusti Lisnawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia yang senang dengan sesuatu yang berbau fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat Kabar

21 November 2024   00:10 Diperbarui: 21 November 2024   00:27 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sabtu lalu, dia menyodorkan saya selembar koran lokal. Bukan hanya saya, ada beberapa temannya yang juga diberi selembaran koran. Lalu, kami diminta membaca dalam diam sambil duduk membentuk setengah lingkaran. Kira-kira sampai lima belas menit lamanya. Di depan saya tidak ada kopi atau jus atau teh, pun makanan. Nihil. 

Hanya ada dia yang fokus dengan lipatan koran di tangan. Sesekali dia tertawa kecil, mungkin ada yang lucu tapi sungguh berita yang dimuat di koran itu tak ada yang lucu!

Hal itu kontras dengan saya, yang sesekali menggerutu karena seharusnya ada satu dua hidangan ketika sedang membaca koran, seperti yang biasa dilakukan bapak tiap akhir pekan: membaca koran sambil ngopi. Namun, gerutuan itu tidak bertahan lama setelah mata saya dengan tidak sengaja menangkap judul berita yang menarik. 

Di atas rentetan anak kata pada surat kabar itu, ada satu foto yang di dalamnya memuat gambar seorang laki-laki sedang berbicara di depan orang banyak, mungkin ia sedang berpidato. Lalu, di samping laki-laki tersebut, beberapa karangan bunga berjejer rapi.

"Lima belas menit kita sudah habis. Waktunya bercerita tentang berita yang kalian baca," kata dia memindai wajah kami satu per satu. Pembawaannya santai, tapi cukup mengintimidasi kami untuk tidak menjadi yang pertama. Lima menit berlalu, di antara kami tak ada yang mengajukan diri.

Saya mendengar dia mendesah. Tangan kirinya mengambil sesuatu dari dalam tas. Memindahkannya ke depan, ke tengah-tengah formasi. Sebungkus donat. "Barang siapa yang berani menceritakan berita dalam koran yang kalian baca, kalian boleh ambil donat ini."

Menarik. "Satu orang cukup ambil satu," tambahnya diiringi dengan cengengesan yang membuatnya jadi menyebalkan.

Dengan diiming-imingi donat, Rese merelakan diri menjadi yang pertama. Ia bercerita soal keluhan warga kabupaten yang mengeluhkan kabel semrawut di pinggir jalan. Kabel-kabel tersebut sudah pernah memakan korban dan belum ada tindak lanjut dari pihak PLN ataupun pihak lainnya.

"Itu kasus klasik. Ini bukan pertama kalinya kabel semrawut. Jangankan di kabupaten, di kota saja banyak. Tidak terhitung malah, dan kalian lihat, apa ada tindakan yang diambil oleh orang-orang di atas sana? Jelas tidak kan," Aden menanggapi dengan jiwa yang berpai-api. 

Di antara kami semua, hanya dia yang gampang terbakar emosinya. Namun, apa yang dikata Aden tidak salah. Sebagai salah seorang yang menyukai langit, saya kadang kesal ketika hendak memotret langit cerah malah terhalang lilitan kabel yang semrawut. 

Ini mungkin dampak negatif dari pertumbuhan penggunaan listrik yang makin meningkat, kata dia. Itu juga betul, tapi bukan berarti kabel semrawut itu harus dimaklumi apalagi jika sudah memakan korban jiwa, mesti ada tindakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun