Buku ini juga dilengkapi beberapa gambar yang dibuat oleh Stephanie Wong yang menjadikan kadar kemenarikan buku ini bertambah dua kali lipat. Meskipun buku ini ditujukan pada anak kecil, menurut saya buku ini masih dapat dibaca oleh lidah orang dewasa.
Kiranya, melalui buku ini, orang dewasa dapat meniru apa yang dilakukan oleh orang tua Amos (dan mungkin Amos sendiri) untuk membangun kreatifitas pada diri anak.Â
Dari sini, kita juga bisa memulai mengajarkan anak menulis. Bukan menulis teori atau yang berkaitan dengan pelajaran sekolah (sebab menurut saya, selaku manusia yang pernah kecil dan sekolah, merasa kalau itu adalah kegiatan yang membosankan).Â
Mintalah anak untuk menceritakan kejadian yang mereka alami, sudah dilewati, dan ingin dilakukan ke dalam bentuk tulisan. Dengan ini, selain melatih kemampuan menulis dan bercerita anak, orang tua juga bisa menghadirkan kreatifitas dalam diri anak.
Omong-omong, sebelum memberikan buku karangan Adeline Foo ini kepada anak, alangkah baiknya para orang tua, kakak, mas, dan mbak, membacanya terlebih dahulu. Alasannya sederhana, biar kalau si kecil bertanya, kalian bisa menjelaskannya dengan baik. Dan, agar ketika mendiskusikan buku hasil renungan Amos di WC yang berjalan selama satu tahun ini dapat berlangsung dengan baik, sebab kalian sudah memahami jalan ceritanya.
Sedikit informasi, The Diary of Amos Lee ini bukan satu-satunya series anak yang dibuat oleh Adeline Foo. Setidaknya ada dua buku lagi yang menceritakan petualangan Amos. Kalau pembaca sekalian penasaran, silakan cek toko Oren atau toko hijau yang (setahu saya) menjual beberapa buku karangan Adeline Foo ini.Â
Oiya, omong-omong buku ini saya dapatkan ketika mengunjungi acara Harbukfes di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa pada Selasa, 14 Mei 2024 (itu pun karena diminta seorang teman yang ingin ditemani).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H