Kurang lebih dua puluh menit sebelum bedug azan Magrib, kira-kira dua puluh lima orang perempuan berbagai usia menari di depan gedung yang lantai duanya sedang kamu huni. Suara alat musik yang dimainkan oleh lima orang laki-laki menarik perhatianmu dari tumpukan berkas laporan mingguan.
Kamu keluarkan sedikit kepala, menjulurkan leher, lalu berkata, "siapa yang sedang berpesta?"
Tidak ada. Mereka hanya sedang menghibur diri. Mengiringi kepergian matahari dengan seni, berharap rembulan malam ini bersinar terang setelah beberapa malam sebelumnya remang-remang. Kemudian, ketika langit sudah dililit selimut malam, azan Magrib berkumandang, mereka berhenti menari. Lehermu ditarik seperti sedia kala. Perhatianmu kembali ke asalnya; laporan mingguan yang menggunung. Seharusnya sekarang kita sudah pesan ojek daring, berhenti di tengah jalan beli beberapa camilan, pulang ke rumah, mandi, dan menonton film yang sudah selesai diunduh. Seharusnya itu terjadi, seandainya berkas mingguan itu tidak setinggi gunung kecil dan bos minta besok dikumpulkan. Menyebalkan!
Selesai memuntahkan semua unek-unek itu, kamu berjalan lunglai ke meja kantor, duduk di kursi---yang banyak diincar orang, dengan muka kusut. Hari ini kamu sedang tidak salat, waktu beribadah yang kamu manfaatkan untuk merenung.
Merenungi atasanmu yang selalu berbuat sesuka hati.
Angin berembus membawa suara laki-laki yang melantangkan ikamah ke telingamu. Suaranya khas, seperti tidak asing telinga. Kepada diri sendiri, kamu mengaku sering mendengar suara ini, tapi kepada diri sendiri, kamu bertanya, "di mana ya?"
Lalu, satu nama melintas di kepalamu yang bahkan tidak memiliki satu pun jalan raya. Satu yang kemudian mendekam di salah satu ruang di hatimu yang rentan terhubung dengan beberapa kotak kenang di kepalamu. Satu nama yang sukses meluluhlantakkan pertahanan yang pernah kamu bangun mati-matian.
"Dia?" Kamu memastikan lagi, kepada dirimu sendiri.
Sekelebat peristiwa yang pernah dilewati bersama Dia bermunculan satu persatu di kepala. Menari-nari di ruang yang entah apa namanya. Tariannya persis dengan apa yang dilakukan oleh para perempuan tadi.Â
Suara ikamah berhenti. Terdengar suara lain yang meminta jamaah meluruskan saf. Tidak ingin mati karena penasaran, kamu tinggalkan tumpukan berkas hanya untuk memastikan suara tadi bukan milik nama yang pernah singgah di duniamu.
Kakimu gegas ke luar gedung. Satu persatu dengan kecepatan tinggi menuruni anak tangga. Ketika tiba di depan gedung, langkahmu mandek. Kakimu beku, lidahmu kelu oleh sinar bulan yang sedang purnama. Kata-kata terkunci di pangkal lidah. Kamu ingin memuji kecantikan bulan malam itu, tetapi seketika kamu sadar, kata-kata sudah mati di era ini.