Mohon tunggu...
Rusti Lisnawati
Rusti Lisnawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia yang senang dengan sesuatu yang berbau fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tiba-tiba Saya Ditunjuk jadi Pemantik

13 Mei 2024   23:20 Diperbarui: 13 Mei 2024   23:20 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya bingung mau membuka cerita ini dengan kalimat seperti apa, sebab malam ini tidak ada kalimat pembuka menarik dalam kepala saya. Penyebabnya barangkali karena besok ada mata kuliah pagi, sedangkan saya masih di kampung halaman. Alasan kenapa saya masih bertahan di kampung halaman tidak perlu kita bahas, karena tujuan saya menulis ini bukan untuk berbagi cerita kampung halaman, melainkan cerita Kamis siang Minggu lalu di pelataran gedung baru Kampus C.

Mari, saya antar pembaca masuk ke dalam ceritanya.

Dengarkan dan simak baik-baik ya!

--------

Waktu itu, Kamis bulan Mei berubah jadi manis karena dipeluk tanggal merah. Dan rasa manisnya boleh jadi melebihi kadar manis yang dimiliki gula seandainya seseorang tidak memilih saya sebagai pemantik Kajian Sastra minggu itu dan membiarkan saya diangkut gerbong kereta api lokal Merak. Padahal rindu dan segala printilan rasa kangen sudah saya setrika dan lipat rapi dalam tas travel. Seharusnya, hari Kamis jadi hari yang dua kali lipat sangat manis jika ibu, bapak, adik, dan saudara membuka bungkusan rindu itu di hari Kamis siang. Tetapi, sepertinya seseorang itu sengaja biar bungkusan pulang yang sudah jauh-jauh hari disiapkan itu dibuka di hari Jumat saja. Biar rindunya berkah.

Mau tidak mau saya mengiyakan. Maka, ketika semua baju kotor, piring bekas sarapan, dan kaus kaki yang sudah dua minggu tidak diganti sudah selesai dicuci, saya siap-siap merapikan diri. Menyiapkan segala hal yang diperlukan untuk kajian siang nanti, uang, dan niat berangkat ke tempat. Setelah siap dengan penampilan ala kadarnya, saya mengajak kedua kaki ini untuk mencari angkutan umum.

Tujuan naik angkutan umum, ya, biar hemat ongkos. Walaupun kadang supirnya suka bikin saya boros sabar. Namun, sepertinya hari ini semesta ingin saya menyimpan baik-baik stok sabar yang tinggal sedikit dengan menghadirkan dua angsa milik warga di jalan biasa saya menghentikan angkutan umum. Beberapa bulan yang lalu, salah satu dari dua angsa yang sedang nongkrong itu pernah mengejar saya.

Dia adalah angsa paling jahil yang saya kenal. Soalnya kenal tidak, dekat juga tidak, tiba-tiba ngejar. Mana langsung cium kaki saya lagi. Kalau dipikir-pikir lagi, kasihan juga angsa jahil itu, dia ngejar saya tapi enggak saya kejar balik.  "Lagian kamu sok asik."

Alhasil, saya muter balik. Lalu teringat dengan salah satu buku yang hendak saya pinjamkan kepada teman. Saya masuk ke kamar lagi. Melihat kasur dan kipas angin yang menyala di tengah udara panas, menyurutkan semangat saya untuk pergi saat ini juga. Mereka seakan-akan membisikan rayuan setan kepada saya. "Tidurlah... Tidurlah... Di luar panas, enggak cocok buat kamu yang anti pakai sunscreen."

"Pergi sekarang atau kamu menyesal kemudian!" kata hati saya.

Baiklah kita pergi mengikuti kata hati. Biasanya kalau mengikuti hati minim untuk sial. Apalagi hati perempuan. Lupakan.

Saya tiba di gedung baru sekitar pukul 10 lewat tiga puluh menit atau kurang. Saya lupa. Yang saya ingat, saya berhasil datang lebih dulu dari teman yang lain dengan cara nekat naik gerbang lama kampus. Untung tidak mampus. Mengingat biasanya bisa naik tapi tidak bisa turun, yang berakibat salah urat.

Bagian itu seharusnya tidak saya ceritakan panjang kali lebar ditambah luas dan dibagi volume. Jadi, langsung saja ke bagian inti. Kita beralih menjadi warga Swedia atau mungkin Jerman yang terkenal berbicara to the point. Minusnya kita jadi orang yang enggak lucu.

Pada kajian siang itu, saya membawakan cerpen yang didapat dari buku kumpulan cerpen Wabah. Terbitan tahun 2021. Buku ini saya dapati dari kebaikan hati seorang kakak tingkat, yang tidak ada angin tidak ada hujan tapi ada panas, memberi saya buku kumcer ini. Untuk bahan kajian, saya ambil cerpen yang judulnya Bulan Merah Rabu Wekasan. (Menarik, Rabu Wekasan dikaji hari Kamis. Plot twist jadinya).

Saya minta peserta yang hadir untuk membaca hening selama sepuluh menit. Setelah itu saya mintai pendapat mereka. Beberapa malah terkesan seperti ditagih hutang pendapat oleh saya. Mayoritas dari peserta---anggota Bengkel Menulis dan Sastra lainnya, merasa sulit memahami cerpen ini jika hanya sekali dibaca. Kata-kata yang digunakan pada paragraf awal, sangat membingungkan. Mereka mesti bolak-balik KBBI dan baru bisa memahami maksud dari kata tersebut.

Cerpen Bulan Merah Rabu Wekasan karya Royyan Julian ini memang banyak menggunakan kata-kata arkais di awal paragraf. Hal ini menyebabkan pembaca yang tidak terbiasa dengan jenis pembukaan seperti ini, merasa bosan dan enggan melanjutkan membaca. Tidak salah apabila seorang penulis ingin memakai kata-kata arkais di dalam cerita mereka. Sah-sah saja. Toh, setahu saya ada beberapa tipe pembaca yang menyenangi jenis cerpen seperti ini. Penulis angkatan balai pustaka (kalau tidak salah) pun kerap kali membuat tulisan seperti yang terjadi pada cerpen Bulan Merah Rabu Wekasan ini.

Omong-omong, pembaca yang budiman, cerpen Bulan Merah Rabu Wekasan ini menceritakan tentang desa Sumber Bulan yang terpencil ketika diserang wabah penyakit yang melanda negeri. Penyakit itu ditandai dengan ruam merah di sekujur tubuh dan rasa panas. Singkat cerita, kepala desa Sumber Bulan melakukan pertemuan rahasia dengan Kiayi Jalil, Dokter Simon, Ramiso, dan dua orang kuli yang merupakan teman kerja Ramiso di toko Haji Ansori. Dalam pertemuan itu, Mirna, Kepala Desa Sumber Bulan meminta Ramiso dan dua orang kuli lainnya untuk menjadi pasien bodong.

Oleh Mirna, Kiayi Jalil, dan Dokter Simon, Ramiso dan dua temannya yang sesama kuli diiming-imingi upah satu juta hanya untuk mendekam di bilik puskesmas dan pura-pura terinfeksi penyakit ruam. Segala kebutuhan keluarga mereka ditanggung oleh Mirna.

Manusia mana yang tidak ngiler ditawari kerja rebahan, makan terjamin, dan kebutuhan keluarga dijamin? Saya yakin,kalau tawaran ini menuju pada Anda, siapapun tidak bisa menolak.

Rencana tipu daya ini bertujuan agar desa Sumber Bulan bisa mendapat bantuan dana dari pemerintah. Barangkali bantuan dana tersebut bisa membantu warga memperbaiki jalan utama Sumber Bulan yang rusak.

Akan tetapi, yang namanya manusia biasa tidak pernah luput dari pengkhianatan. Mirna, Kiayi Jalil, dan Dokter Simon tidak melakukan apa yang mereka katakan pada Ramiso. Mereka bertiga menggunakan uang bantuan tersebut untuk kesenangan pribadi. Ramiso sendiri baru mengetahui hal ini setelah dirinya menyaksikan tayangan berita tentang dana yang seharusnya diterima oleh pasien wabah.

Semestinya ia menerima dua puluh lima juta, bukan satu juta rupiah. Didorong amarah, Ramiso kabur dari bilik puskesmas, mengambil pisau dapur dan mencari tiga orang yang sudah mengambil dua puluh empat jutanya.

Namun, ia justru melihat warga berlarian dengan tubuh penuh ruam dan menjerit-jerit kepanasan.

Sekilas cerita ini terdengar nyata, mengingat 2019-2021 lalu, kita mengalami wabah virus Covid-19 yang menghantui dunia ini. Barangkali ketika itu, ada oknum-oknum yang sengaja membuat pasien bodong demi kepentingan bisnis pribadi. Semoga tidak ada. Dan hanya asumsi saya pribadi.

Cerita pendek ini, di samping mengangkat isu wabah penyakit, juga memuat isu korupsi, dinasti politik, dan masalah kehidupan sehari-hari yang kurang melek politik. 

Mata saya sedikit terbuka hari itu. Saya kira korupsi hanya bisa dilakukan oleh orang-orang golongan elit, rupanya orang-orang dengan golongan rendah pun masih memiliki peluang untuk melakukan tindak korupsi. Yah, barangkali ini akan jadi pr panjang untuk negeri ini dalam meminimalisasi angka korupsi.

Sebetulnya, cerita dari Kajian Sastra kamis kemarin masih panjang, tapi tangan dan mata saya sudah tidak mampu untuk mengetik lebih panjang lagi.

Jadi, yah, sekian dan siap terima gaji.

Wasalam.

------

Oiya, untuk berikutnya Bengkel kami akan mengadakan diskusi koran. Bagi pembaca yang tertarik untuk ikut diskusi, silakan hadir di Kampus C atau bisa hubungi saya.

Sekian. Terima kasih sudah membaca dengan baik cerita ini.

Salam sastra dan literasi.

Salam sayang

(2024)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun