Mohon tunggu...
Rusti Lisnawati
Rusti Lisnawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia yang senang dengan sesuatu yang berbau fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

2024: Baru Setengah Berjalan, Peristiwa di Luar Nalar Berseliweran

11 Mei 2024   19:29 Diperbarui: 11 Mei 2024   19:31 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Tahun 2024 baru berjalan setengah. Belum ada satu semester jalan. Namun, hal-hal di luar nalar banyak terjadi di umur 2024 yang baru berusia setengah jagung ini. Beberapa pekan ini, platform berita banyak dijejali oleh kasus pembunuhan yang berujung mutilasi. Tidak sedikit pelaku merupakan orang terdekat korban. Sebagai salah satu contoh, adalah pembunuhan yang dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya yang terjadi di Ciamis. Pelaku diduga mengalami gangguan jiwa lantaran tekanan ekonomi yang menjeratnya. Perilaku tidak berperikemanusiaan ini bukan pertama kali terjadi di Indonesia.

Kasus pembunuhan yang berujung pada mutilasi pertama kali terjadi di Indonesia pada tahun 1981. Kasus ini dikenal dengan nama 'Setiabudi 13', karena korban ditemukan di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan dengan potongan tubuh sebanyak 13 buah. Kasus ini masih menjadi misteri dan belum menemukan titik terangnya.

Baru-baru ini, terjadi tragedi pembunuhan yang mengiris hati. Seorang bapak tega membunuh istrinya di depan anak laki-lakinya yang masih berusia lima tahun. Peristiwa ini terjadi di Minahasa. Entah apa yang menghasut pelaku untuk menghabisi nyawa perempuan yang dinikahinya dan telah memberinya dua orang anak. Apakah ketika melakukan aksinya, ia memikirkan tidak memperhitungkan dampak untuk anak-anaknya? Apakah pelaku sudah kehabisan tempat 'kosong' di muka bumi ini untuk melakukan tindakan tidak terpuji ini, hingga memilih melakukannya di hadapan sang anak?

Tidakkah ia memikirkan dampak panjang untuk mental anak kecilnya yang masih berusia lima tahun. Bukankah anak sekecil ini masih membutuhkan peran ibu untuk masa pertumbuhannya. 

Mengenal kematian di usia lima tahun bukan sesuatu yang baik. Apalagi melihat fenomena tak berperikemanusiaan di usianya yang masih belia. Melihat anak sekecil itu menjerit histeris di samping peti kematian ibunya, memberi aba-aba kepada semua manusia; orang yang paling dekat lebih berpotensi menyakitimu.

Di samping segala hal-hal yang tengah membuat panas dunia orang dewasa, dunia anak-anak ikut terseret kategori tidak baik-baik saja. Yah, seperti yang kita tahu belakangan media sosial ramai oleh postingan perundungan yang terjadi pada anak-anak di bawah umur. Tidak sedikit korban yang tidak terselamatkan. Kalau bukan nyawa yang tidak tertolong, yah, mental yang terdampak.

Rata-rata penyebab perundungan ini sepele saja. Tetapi imbas yang diterima tidak bisa dikatakan sepele. Fenomena perundungan tidak mengenal tempat, usia, ras, dan kelas sosial. Lingkungan pesantren pun tak luput dari perundungan. Seperti misalnya kasus yang terjadi di Jawa Timur, yang terjadi pada santri laki-laki dan berujung kematian. Mirisnya, pelaku masih ada hubungan kekerabatan dengan korban. Hal ini menunjukan bahwa siapa saja berpotensi untuk menjadi pelaku perundungan.

Kasus perundungan merupakan salah satu kasus yang tidak bisa disepelekan, sebab bisa berakibat fatal jika tidak segera ditangani. Sebab, hal ini dapat berdampak buruk pada kejiwaan dan mental korban. Seperti misalnya, korban cenderung takut ketika berada di tempat ramai, pendiam, dan tidak percaya dengan dirinya sendiri. 

Baik itu pembunuhan, mutilasi, dan perundungan bukanlah sesuatu yang layak untuk ditiru. Apa jadinya jika semua orang di muka bumi ini melakukan tiga hal keji tersebut? Entah akan berapa banyak liter darah yang akan membasahi tanah. Berapa banyak potongan daging manusia yang berserakan, dan berapa banyak mental juga nyawa yang melayang akibat sikap tidak terpuji ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun