Mohon tunggu...
Rusti Dian
Rusti Dian Mohon Tunggu... Freelancer - Currently work as a journalist and writer

Banyak bicara tentang isu perempuan. Suka menonton film, jalan-jalan, dan menuangkan semuanya dalam tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kilas Balik Satu Tahun Jokowi, Apakah Sudah Sesuai dengan Pidato Pertamanya?

20 Oktober 2020   12:30 Diperbarui: 21 Oktober 2020   10:36 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: https://foto.bisnis.com/)

(Sumber: https://twitter.com/jatamnas/)
(Sumber: https://twitter.com/jatamnas/)

Sejak awal dicetuskannya Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja, yang kemudian disingkat "Cilaka" dan kini diubah menjadi "Cipta Kerja" cukup menuai banyak kontroversi. RUU tersebut sempat menuai protes dari beberapa aktivis dan buruh. Namun, proses perancangan UU tersebut tetap dilanjutkan.

Dilansir dari Kompas.com (2020, 7 Oktober), butuh waktu delapan bulan dari sejak draf RUU diserahkan pemerintah ke DPR. Tapi jika dihitung dari sejak dimulainya pembahasan RUU, maka hanya butuh waktu enam bulan untuk sampai disahkan pada tanggal 5 Oktober 2020. Supratman Andi Agtas selaku Ketua Badan Legislasi DPR menyatakan bahwa ada 64 kali rapat antara pemerintah dan DPR hingga pembahasan selesai. Rinciannya adalah 56 kali rapat panitia kerja (panja) dan 6 kali rapat tim perumus (sinkronisasi).

Alih-alih mendengarkan saran dari rakyat, pemerintah dan DPR justru semakin bersikeras untuk mengesahkan UU tersebut. Aksi penolakan dari berbagai kalangan pun bermunculan seperti buruh, mahasiswa, aktivis lembaga non pemerintah, dan masyarakat sipil. Mereka semua bersatu dan menggelar aksi di berbagai daerah seperti Yogyakarta, Semarang, Jakarta, Makassar, dan masih banyak lagi.

Sampai tulisan ini dipublikasikan, sudah berbagai aksi dilakukan oleh masyarakat. Mulai dari aksi damai, long march, diskusi-diskusi publik, hingga pengajuan judicial review. Namun, itu semua sekalipun tidak bisa membuat pemerintah dan DPR membuka telinga. Mereka justru membuat counter narasi bahwa masyarakat yang menolak UU Cipta Kerja termakan hoax dari media sosial.

Pernyataan tersebut justru melukai hati para demonstran. Belum sembuh dari luka akibat tindakan represif dari aparat, para demonstran juga harus berhadapan dengan konflik horizontal sesama warga. Banyak narasi-narasi negatif yang dibangun untuk melawan demonstran seperti demonstran yang membuat kerusuhan, merusak fasilitas umum, dan masih banyak lagi.

Buruknya Penanganan Pandemi Covid-19

 Sudah menjadi rahasia umum bahwa penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia terkesan tidak serius. Pasalnya, di saat seluruh dunia berusaha untuk mencegah masuknya virus Covid-19, Indonesia justru membuka diri bagi wisatawan asing yang akan masuk ke Indonesia dan menyepelekan bahaya virus tersebut.

"Tidak perlu takut secara berlebihan dengan yang namanya virus corona,"kata Presiden Joko Widodo dalam video yang ditayangkan oleh Narasi TV. Walaupun pemerintah berusaha untuk membuat warganya tidak panik, namun cara itu justru salah. Data yang tidak transparan membuat masyarakat pun resah terhadap penyebaran virus tersebut.

(Sumber:https://covid19.idionline.org/)
(Sumber:https://covid19.idionline.org/)

Himbauan untuk memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, dan menjauhi kerumunan terus digencarkan. Bahkan, di awal pandemi tersebut merebak, warga dihimbau untuk karantina di rumah dengan kampanye "#DiRumahAja". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun