Kembali melewati jalan itu di waktu yang sama tanpa siapa-siapa
Pagi sudah tidak lagi buta telah naik beberapa tangga yang terbuat dari besi baja
Aku tahu dia sedang memanjang-manjang kata biar terlihat seperti pujangga
Mana ada matahari naik tangga dia sedang mengada-ada
Matahari pagi berwarna tembaga dia sedang melukis dengan kata-kata
Yakin bisa karena seperti biasa pagi adalah teman hidupnya
Setelah itu kembali sendiri dengan tawa yang datang tiba-tiba
Begitu pula tangis tanpa duka cita dengan bayang-bayang dia bicara
Rumah kecil beratap rumbia berada di batas tanah keluarga
Selalu ramai walaupun dia sendiri saja dengan suara tangis dan tawa
Dia akan diam ketika malam tanpa purnama
Kembali menunggu pagi dia tidak akan lari kecuali digusur dengan seketika
Pagi menjadi syair yang ditulis di lembaran buku tua peninggalan orang tua
Telah menjadi antologi sulit dimengerti karena tidak bisa dibaca
Dia senang ketika orang sulit mengeja aksara dengan terbata-bata, diapun tertawa
Ketika terlepas kata hina karena syair tak bisa dibaca keluar kata mengusir dengan serta merta
Suatu pagi gubuk beratap daun sepi tanpa suara, orang-orang bertanya dimana diaÂ
Beberapa mata pengintip dari dinding papan yang sudah tua, tidak terlihat dia
Orang-orang mendorong pintu dengan kunci yang sudah terbuka, juga tidak ada dia
Ditemukan secarik kertas dengan tulisan yang bisa dibaca, aku tidak lagi gila
Sungailiat, 12 Desember 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H