Bermula dari teman yang membagi puisi saya di Kompasiana distory WA nya. Kehebohan mulai mencuat bahwa puisi yang dibagikan itu isinya telah menyindir, mengejek, menghina dan lain-lain telah berhasil dijadikan sebagai alat propaganda.Â
Beberapa orang yang terpengaruh menjadi percaya dan ikut membenci saya. Penyebar hoaks yang nyata di mata saya.Â
Saya tidak mau merespon berlebihan. Â Tetap sabar karena akan membikin keributan yang akan membuat buruk diri saya.Â
Ada pilihan, Lapor polisi saja karena sudah cukup bukti ada banyak saksi serta bukti pesan WA. Saran seorang teman itu ada baiknya, untuk membuat efek jera.Â
Tidak sekedar jera tapi juga dapat mengedukasi pelaku bahwa negara ini negara hukum, sehingga yang bersangkutan bisa menyadarinya.Â
Lapor PolisiÂ
Lapor polisi, bagi saya adalah pilihan terakhir. Pilihan lainnya adalah memaafkan, tapi pelaku penyebar hoaks tidak menyadari dirinya telah berbuat salah.Â
Bagi saya sudah berhenti menyebar hoaks saja berarti sudah sadar, tidak meminta maaf sudah saya maafkan.Â
Penyebar hoaks nyata, biasanya mendapatkan hoaks di dunia maya. Ini saya menemukan langsung, ternyata pelakunya sangat jahat karena itu layak disebut penjahat.Â
Penyebar hoaks cenderung memecah belah dengan hasutannya melalui kabar bohong. Kali ini melalui puisi yang diintepretasi sesukanya sendiri. Padahal orang ini tidak menyukai puisi, telah pura-pura dan sok tau bisa memaknai makna yang tersirat dan tersurat dalam puisi.Â
Semoga yang termakan hoaks lekas sadar mereka sedang dihasut. Orang yang paham tidak akan terpengaruh karena itu mereka harus diberikan pemahaman tentang puisi sebagai karya seni.Â
Orang-orang dilingkungan bisa lebih cerdas akan bisa menangkal hoaks. Hoaks tidak hanya ada di dunia maya juga di dunia nyata. Termasuk dalam menyaring informasi apapun untuk tidak ditelan mentah-mentah.Â
Salam hangat dari pulau Bangka.Â
Rustian Al'Ansori.Â