Menulis puisi telah menjadi hobi.
Setiap hari menulis di Kompasiana telah menjadi gaya hidup mengisi waktu yang telah dibagi.
Sejak menulis di Kompasiana ada kapling waktu khusus untuk menulis setiap hari. Inilah gaya hidup saya.Â
Gaya hidup atau life style terkait dengan aktifitas sehari-sehari, seperti yang dilakukan tidak hanya saya namun juga teman-teman Kompasianer. Sama halnya dengan berolahraga, menulis juga mendapat ruang tersendiri bagi saya.
Mengapa saya menulis puisi? Puisi tempat menulis perasaan saya. Dengan menulis puisi sekat yang menggumpal di otak dan hati saya jadi lepas. Plong! Menulis jadi obat, menyehatkan jiwa saya. Rasa sakit hati, kesal, benci, iri, dengki dan lain-lain hilang.
Puisi saya biasa-biasa saja, tapi lahir dari rasa.
Rasa yang aktual, saat itu. Jadi saya biasanya menulis secara mobile di draf akun ini. Selalu menulis puisi sehingga ada remaja teman anak saya bilang, "kok tua-tua masih nulis puisi?"Â
Saya jawab saja, "biar awet muda."
Remaja itu bertanya lagi," masa sih nulis puisi bisa bikin awet muda?"
Puisi sebagai karya sastra moderen (baru), proses kreatifnya tidak beda dengan pantun sebagai karya sastra lama. Tapi anak-anak muda menganggap puisi itu untuk seumur mereka. Sedangkan pantun untuk yang tua-tua.
Sebagai contoh, seniman Dambus (musik tradisi khas Bangka) menembangkan syairnya yang berisikan pantun nasehat. Seniman pantun kebanyakan berusia lanjut. Mungkin ini salah satu penyebab anak-anak muda kurang mendalami pantun. Seperti juga puisi, pantun lebih menarik bila dipergunakan sebagai alat komunikasi antar muda-mudi.