Ritual adat Perang Ketupat di desa Tempilang, Bangka Barat yang digelar setiap menjelang bulan Ramadhan belum hilang. Hanya saja karena situasi dan kondisi pandemi Corona adat Perang Ketupat dilaksanakan untuk tahun ini. Resiko penularan Corona sangat besar bila tetap digelar karena akan berkumpul ribuan orang untuk menyaksikan.
Pelaksanaan Perang Ketupat setiap tahun berlangsung di pantai Pasir Kuning, desa Tempilang, kabupaten Bangka Barat, provinnsi kepulauan Bangka Belitung. Selama ini adat Perang Ketupat telah menyedot banyak perhatian dan memikat wisatawsn lokal, wisatawan nasional maupun dari luar negeri.
Masyarakat Tempilang telah mengindahkan himbauan Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Erzaldi Rosman agar tidak menggelar ritual adat Perang Ketupat sehubungan memutus mata rantai penularan Covid-19.Â
Tidak hanya adat Perang Ketupat, tradisi lainnya menjelang Ramadhan di Bangka Belitung dalam upaya mencegah berkumpulnya banyak orang juga tidak dilaksanakan tahun ini seperti adat Ruahan yang hampir seluruh desa di Bangka menggelar adat ini dan adat Mandi Belimau di desa Kimak, kecamatan Merawang, kabupaten Bangka.
Saya membuka kembali album lama koleksi saya yang masih mendokumentasikan foto adat Perang Ketupat beberapa tahun silam. Dari foto itu tergambar bahwa perayaan adat Perang Ketupat di gelar bak lebaran. Ribuan orang tumpah ruah di desa Tempilang.Â
Tidak hanya ingin melihat Perang Ketupat di pantai Pasir Kuning namun juga  bersilaturahmi mengunjungi rumah warga baik saudara, teman maupun yang baru dikenal, mereka membukakan pintu rumahnya untuk menjamu dengan aneka makanan khas desa setempat. Ada Ketupat, Lepat dan betbagai penganan lainnya.
Perang Ketupat yang digelar setiap hari minggu terakhir sebelum memasuki bulan Ramadhan. Berarti kalau jadi digelar dilaksanakan hari Minggu, 19 April 2020 lalu. Setiap tahun pelaksanaannya di desa Tempilang selalu ramai dengan pengunjung yang datang dari berbagai tempat di pulau Bangka. Kemacetanpun tidak bisa dihindari.
Gelaran Perang Ketupat merupakan puncak dari ritual. Massa yang hadir saling melakukan aksi lempar-lemparan ketupas. Kalau kena bagian tubuh terasa lumayan sakit. Saya tidak tahu apakah pelaksanaan satu tahun terakhir ini ketupat sebagai peluru lemparan masih dipergunaksn atau tifak? Tapi itulah kenyataan yang telah berlangsung lama, yakni peluru yang dipergunakan dalam perang Ketupat adalah Ketupat. Bila tidak menggunakan ketupat namanya bukan perang ketupat lagi.
Sebelum di lakukan lemparan ketupat digelar berbagai tari tradisi, pencak silat dan lain-lain. Setelah dukun memimpin ritual menyampaikan doa dihadapannya tampak beberapa sesaji. Sebagian sesaji ada yang di hanyutkan  ke laut. Di larung atau tidaknya sesaji ke laut tergantung permintaan penguasa alam gaib ketika berkomunikasi dengan dukun pada malam hari sebelum di gelar Perang Ketupat.Â
Malam itu terjadi komunikasi antara dukun dan penguasa alam gaib. Di situ juga ada permintaan diantaranya seperti sesajen di larung ke laut atau tidak. Jadi Perang Ketupat yang digelar siang harinya hanya sekedar pemberitahuan kepada masyarakat. Saya mendapatkan informasi tersebut dari dukun yang memimpin Perang Ketupat waktu itu.
Inti dari adat Perang Ketupat adalah  untuk membersihkan kampung dari gangguan berbagai wabah, gangguan gaib baik sedang melaksanakan aktifitas di darat maupun di laut. Sedangkan yang memimpin ritual adalah sosok pilihan yang merupakan keturnan dukun yang pernah memimpin ritual tersebut sebelumnya.
Membersihan lingkungan desa dari pengaruh gaib juga hingga di rumah-rumah penduduk, yang dilakukan dengan memercikkan air yang sudah di doakan baik ke bagunan tumah maupun bagian tubuh warga. Harapan dukun yang merupakan tokoh adat setempat agar warga desa Tempilang setidaknya selama satu tahun berikutnya tethindari dari berbagai gangguan dan bahaya. Seperti halnya sebagai tolak balak.
Seperti halnya Perang Ketupat, Ceriak Nerang juga dipimpin seorang dukun. Di sinilah saya tahu bahwa fungsi dukun adalah sebagai pemangku adat, tidak hanya sebagai sosok yang bisa berkomunikasi dengan alam baik. Acara-acara adat ini kembali menghidupkan suasana mistis yang sempat indentik dengan Bangka.
Kemasan acara adat seperti Perang Ketupat dari tahun ke tahun dipercantik dengan tujuan meningkatkan kunjungan wisata. Melalui ritual adat ini diharapkan dapat nenjadi kekuatan sektor pariwisata sehingga dapat meningkatkan kunjungan wisata di Bangka Barat yang juga dikenal dengan obyek wisata sejarahnya yakni tempat diasingkannya presiden pertama RI Bung Karno oleh kolonial Belanda pada Agresi Belanda ke II.
Salam dari pulau Bangka.
Rustian Al'Ansori
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H