Malam itu terjadi komunikasi antara dukun dan penguasa alam gaib. Di situ juga ada permintaan diantaranya seperti sesajen di larung ke laut atau tidak. Jadi Perang Ketupat yang digelar siang harinya hanya sekedar pemberitahuan kepada masyarakat. Saya mendapatkan informasi tersebut dari dukun yang memimpin Perang Ketupat waktu itu.
Inti dari adat Perang Ketupat adalah  untuk membersihkan kampung dari gangguan berbagai wabah, gangguan gaib baik sedang melaksanakan aktifitas di darat maupun di laut. Sedangkan yang memimpin ritual adalah sosok pilihan yang merupakan keturnan dukun yang pernah memimpin ritual tersebut sebelumnya.
Membersihan lingkungan desa dari pengaruh gaib juga hingga di rumah-rumah penduduk, yang dilakukan dengan memercikkan air yang sudah di doakan baik ke bagunan tumah maupun bagian tubuh warga. Harapan dukun yang merupakan tokoh adat setempat agar warga desa Tempilang setidaknya selama satu tahun berikutnya tethindari dari berbagai gangguan dan bahaya. Seperti halnya sebagai tolak balak.
Seperti halnya Perang Ketupat, Ceriak Nerang juga dipimpin seorang dukun. Di sinilah saya tahu bahwa fungsi dukun adalah sebagai pemangku adat, tidak hanya sebagai sosok yang bisa berkomunikasi dengan alam baik. Acara-acara adat ini kembali menghidupkan suasana mistis yang sempat indentik dengan Bangka.
Kemasan acara adat seperti Perang Ketupat dari tahun ke tahun dipercantik dengan tujuan meningkatkan kunjungan wisata. Melalui ritual adat ini diharapkan dapat nenjadi kekuatan sektor pariwisata sehingga dapat meningkatkan kunjungan wisata di Bangka Barat yang juga dikenal dengan obyek wisata sejarahnya yakni tempat diasingkannya presiden pertama RI Bung Karno oleh kolonial Belanda pada Agresi Belanda ke II.
Salam dari pulau Bangka.
Rustian Al'Ansori
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H