Kapan ajal akan datang, tidak ada yang tahu. Termasuk Erta. Perempuan yang sebentar lagi menginjak usia lima puluh tahun.
Berangsur kerut wajahpun mulai tampak. Tak lama lagi akan menopause. Wajahnya yang memang tidak cantik, akan bertambah tidak menarik.
Batin Erta akhir-akhir ini terasa tidak nyaman. Ia berupaya menghibur diri. Mimpi buruk sering hadir dalam tidurnya. Ia menjadi sulit tidur. Ingat kata-kata orang tua dulu,” orang yang sudah menuju usia lanjut ketika merasa sulit tidur, sebagai tanda-tanda mendekati ajal.”
Erta tidak takut mati. Baginya kematian merupakan bagian dari akhir sebuah kehidupan yang akan dihadapi setiap orang. Cepat atau lambat ajal akan datang, bukanlah sesuatu yang menakutkan. Namun dalam satu mimpi ia didatangi sosok bersurban yang mengatakan, ”Kau tidak akan masuk surga, sebelum orang yang kau fitnah memaafkanmu.”
Erta ingat siapa yang pernah difitnahnya.
Ia pun merasa ibadahnya selama ini sia-sia. Bila kata maaf itu tidak didapat. Kesombangan yang ada pada dirinya telah membuat ia merasa apa yang sudah dilakukan dengan menuduh tanpa bukti, jelas -jelas fitnah itu adalah bagian dari upayanya untuk menjatuhkan orang lain.
Ia merasakan balasan itu. Baginya sudah cukup cobaan yang alaminya.
Ia merasakan benar-benar tidak nyaman. Satu keinginannya saat ini yang belum tercapai, mengembalikan masa lalu yang serba berkecukupan. Masa berlimpah dengan uang ketika suaminya masih menduduki jabatan. Kini suaminya sudah lama non job. Sudah berupaya mendapatkan jabatan tinggi, namun tak kunjung di dapat.
Bagaimana caranya? Otak licik Erta terus mencari ide yang bagus. Jurus menjilatnya ia mainkan. Berkumpul bersama istri-istri pejabat sudah lama tak dilakukan semenjak suaminya non job. Kali ini ia mulai mengambil hati istri yang suaminya memiliki kuasa, yang mungkin bisa membatu suaminya meraih jabatan empuk yang diinginkan.
Tapi mendapatkan jabatan tinggi harus melalui prosedur lelang.
”Sudahlah, itu hanya formalitas saja untuk memenuhi syarat saja, ujung-ujungnya keputusan tergantung selera si penguasa,” kata seorang ibu, istri pejabat yang memberinya semangat.
Kecil harapan Erta. Ia pesimis, merasa suaminya bakal non job hingga pensiun. Hati kecilnya berkata, suaminya tidak pintar-pintar amat. Waktu menjabat, terlalu banyak dinas luar, agar dapat legal mengabil uang lebih. Terlalu banyak dinas luar sehingga pekerjaan di kantor banyak terabaikan dan anak buahnya sulit untuk bertemu membicarakan soal pekerjaan karena waktunya banyak dihabiskan berada di luar daerah. Karena itulah suaminya di non job pimpinannya.
Erta sakit. Ada kanker yang bersarang ditubuhnya. Ia akan menjalani kemotrapi. Keraguan menyeruak dibenaknya, karena kebanyak penderita kangker yang melakukan kemotrapi selalu berakhir dengan kematin. Ia sudah siap mati.
”Ya, sudahlah jalani saja,” pasrah Erta.