Aparatur Sipil Negara (ASN) memeliki hak suara dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tapi harus netral. Memilih calon kepala daerah di dalam bilik suara, tapi tidak memberikan dukungan secara terbuka. Apakah benar ASN netral?
Masih ada oknum ASN yang tidak netral. Ternyata diam-diam dukungan diberikan kepada calon Bupati, Walikota, dan Gubernur asalkan tidak ketahuan panitia pengawas Pilkada. Bila ketahuan sanksinya bisa diberhentikan. Mengapa masih ada yang tidak netral ?
Jawabannya beragam. Mulai dari karena hubungan keluarga, alasan yang manusiawi. Tapi ada pula karena ingin mempertahankan jabatan, maupun menaikan jabatan. Jawaban ini menunjukkan ASN telah "melacurkan" dirinya dengan mengorbankan diri untuk mendustai komitmen dari sebuah aturan yang harus ditaati.
Kejujuran ASN pada Pilkada serentak tahun 2020 kembali diuji. Sebagai pelayan publik dan sumpah jabatan bahwa ASN dalam tugasnya tidak menerima atau memberikan sesuatu untuk kepentingan seseorang maupun kelompok tertentu. Semuanya untuk kepentingan bangsa dan negara. Idealnya.Â
Tapi tetap saja ada ASN yang nakal, menabrak aturan itu untuk kepentingan diri sendiri guna mendapatkan jabatan di pemerintahan. Apakah calon dalam Pilkada tidak mengajak ASN mendukung dirinya? Setali tiga uang, sama saja. Ada calon yang melibatkan ASN untuk kepentingan politiknya, walaupun sudah tahu itu melanggar aturan. Saya mendengar hal ini dari teman ASN yang didatangi maupun ditelepon calon kepala daerah agar bisa mendukungnya.
Hanya dengan ucapan, "siap bersedia" tanpa ada gerakan nyata memberikan dukungan. Hal serupa juga di ucapkan kepada calon lainnya. Sikap pura-pura ASN dengan politik dua kakinya merupakan cara ASN menyelamatkan diri. Siapapun yang menang, ASN serupa ini selalu dalam posisi aman.
Ketika Pilkada kita dapat mengukur integritas ASN. Kejujurannya sedang diuji. Ulah oknum ASN, ASN yang netral juga dicurigai. Gaya ASN pun bagai politisi, sikut sana sikut sini. Teman ASN yang tidak berdosa difitnah telah mendukung calon yang kalah.Â
Suasa politik telah berimbas di kalangan ASN, terasa dampaknya bahwa politik itu memang kejam. Setelah kepala daerah yang baru menduduki jabatan, ada yang di non job dari jabatan. Ada pula ASN yang pindah ke daerah lain untuk menghindari dari dendam politik.
Setiap digelar Pilkada, ASN digoda untuk diam-diam berpolitik praktis. Berspekulasi antara menang dan kalah untuk mendukung salah satu pasangan calon, sehingga bisa instan menduduki jabatan hingga dipromosikan kepada jabatan yang lebih tinggi. Hal itu saya lihat sendiri, kadang aturan kepegawaian yakni berdasarkan Daftar Urutan Kepangkan (DUK) diabaikan.Â
Pilkada telah berdampak kepada tidak nyamannya suasana di birokrasi. Munculnya friksi-friksi, adanya kelompok-kelompok yang membuat tidak sehatnya birokrasi. Ada Komisi ASN yang berada di Jakarta, selalu menerima laporan dari ASN di seluruh Tanah Air terhapan ketidaknyaman perlakuan kepala daerah kepada dirinya, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang dirasakan ASN. Jenjang karir jadi tidak sehat lagi di ASN.
Isu rekayasa dalam lelang jabatan pun mencuat. Buktinya kasus suap jual beli jabatan dalam lelang jabatan di Kementerian agama yang melibatkan mantan ketua umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy, menunjukkà n campur tangan orang politik di birokrasi.Â