Telah diterima air laut beserta ombak dan buih putih menepi. Selalu terbuka tak sekalipun menolak, termasuk Tsunami.
Aku sedang belajar kepadamu, bisa terbuka menerima apa adanya. Termasuk limbah minyak yang menghitam dibawa dari tengah laut yang ditumpahkan kapal tak bernama.
Menjadi pantai yang begitu kuat, kadang hanya menjadi tempat singgah perompak untuk menghitung hasil jarahan. Begitu pula mendengar rintihan nelayan tanpa tangkapan.
Tapi, pantai akhir-akhir ini melemah setelah puluhan tahun terkikis katena abrasi. Pantai tidak menyerah, masih bertahan bersama laut yang menangis. Terumbu Karang sudah pecah karena dieksploitasi, sekarang meringis. Pantai pun terus terkikis.
Aku tetap ingin menjadimu. Selalu didatangi tanpa menunggu. Tetap menerima dengan terbuka tanpa dijamu. Tetap pada posisi semula tanpa ada yang mengganggu. Bukan karena dungu, tapi selalu setia kepada waktu.
Aku sedang berada di pantai, diantara Camar yang mengintai. Aku bukan anak pantai, tapi telah menjadi penguasa pantai, dengan diksi mantra yang saling mencintai. Seiring dengan nyanyian Camar yang melengking ramai.
Sungailiat, 8 Desember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H