Bebanmu akan berat.
Jiwamu harus kuat.
Langkahmu akan jaya.
Kuatkan pribadimu!
-Hamka-
Pesan itu Adalah kata-kata Buya Hamka seperti tertera di cover buku “ Pribadi Hebat” karyanya. Buku ini saya beli beberapa waktu lalu dan sangat menginspirasi siapa saja yang membacanya. Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1950 yang memberikan petunjuk bagaimana menjadi pribadi hebat. Banyak buku karya Buya Hamka. Ia merupakan sosok ulama yang dapat menjadi panutan. Tidak hanya didengar dari ucapannya, namun juga kepribadiannya.
Prof. Dr. Abdul Malik Karim Amrullah atau juga dikenal dengan Buya Hamka lahir di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, 17 Februari 1908. Dalam bukunya ia memberikan pandangan agar kita menjadi sosok yang pribadi yang hebat. Sebenarnya pribadi yang hebat itu ada dalam diri Buya Hamka sendiri. Dapat dilihat dari rekam jejaknya.
Buya Hamka adalah seorang ulama dan sastrawan Indonesia meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 dalam umur 73 tahun dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir Jakarta. Ia melewatkan waktunya sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Universitas al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia menganugrahkan Buya Hamka gelar doktor kehormatan, sementara Universitas Moestopo, Jakarta mengukuhkan Hamka sebagai guru besar.
Di dalam buku "Pribadi Hebat" Buya Hamka menyebutkan bahwa, pribadi hebat itu ibarat membangun sebuah bangunan, salah satu bagian penting adalah kualitas batu bata yang digunakan. Batu bata berkualitas bagus akan membuat kuat bangunan yang didirikan. Begitulah satu per satu pribadi individu seperti batu bata. Pribadi yang kuat akan mampu menguatkan diri dan memberikan pengaruh positif terhadap orang lain serta lingkungan sekitarnya, dan lebih jauh lagi kepada agama, bangsa dan negaranya.
Hamka merupakan sosok yang kuat suka bertualang sering melakukan perjalanan jauh. Sempat meninggalkan pendidikan di Thawalib, untuk menempuh perjalanan ke Jawa dalam usia 16 tahun. Setelah setahun di pemantauan, Hamka kembali ke Padang Panjang dan membesarkan Muhammadiyah.
Pengalamannya ditolak sebagai guru di sekolah milik Muhammadiyah karena tak memiliki pendidikan diploma dan kritik atas kemampuannya berbahasa Arab memotivasi keinginan Hamka pergi ke Mekkah. Dengan bahasa Arab yang dipelajarinya, Hamka mendalami sejarah Islam dan sastra secara otodidak. Kembali ke Tanah Air, Hamka merintis karier sebagai wartawan sambil bekerja sebagai guru agama di Deli.