Siapapun pasti setuju dengan keinginan pemerintah yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus 2010, yaitu mewujudkan masyarakat Indonesia yang berkeadilan, berdemokrasi, dan sejahtera. Sebagai anak bangsa sangatlah berharap bahwa cita-cita pemerintah tersebut bukanlah suatu ilusi semata. Bahkan, lebih khusus Presiden SBY menekankan agar kelompok-kelompok minoritas di Tanah Air dilindungi, baik dari segi keagamaan maupun identitas sosialnya. Peryataan tersebut disampaikan Presiden SBY dalam sambutannya pada perayaan Nuzulul Quran Nasional di Istana Negara, Jakarta (Koran Jakarta, Jumat 27 Agustus 2010).
Akhir-akhir ini, tanpa bermaksud untuk subjektif apalagi dianggap tidak nasionalis, masalah kebebasan beragama dan berkeyakinan sedang mengemuka di masyarakat awam. Bukan ingin mengatakan pemerintah telah melakukan pembiaran atas masalah ini menjadi gulungan bola salju yang bisa saja eskalasinya semakin menggiring masyarakat akar rumput dalam konflik horizontal. Menurut hemat saya, pemerintah perlu menyikapi persoalan ini sebagai faktor internal pembangunan nasional (lihat tulisan Abdus Sair “Membaca RAPBN 2011, Koran Jakarta, Rabu 25 Agustus 2010).
Pembangunan agama seharusnya merupakan upaya untuk mendukung peningkatan kualitas pelayanan, pemahaman, dan pengamalan ajaran agama kepada seluruh umat beragama sehingga masyarakat memperoleh kemudahan dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya masing-masing. Di samping itu, pembangunan agama juga ditujukan untuk membangun masyarakat yang memiliki kesadaran akan realitas keberagaman (atau kebhinnekaan) budaya dan memahami makna kemajemukan sosial sehingga tercipta harmoni sosial yang toleran, bertenggang rasa, dan menghargai martabat kemanusiaan. Dikaitkan dengan agenda pembangunan nasional, maka pembangunan agama diharapkan dapat mendukung mewujudkan masyarakat Indonesia sejahtera dan menciptakan Indonesia aman dan damai.
Mencermati hasil Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2009 (diterbitkan oleh Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta), salah satu persoalan yang mengambil porsi cukup besar menyangkut kasus-kasus pertentangan dalam masyarakat terkait agama yang masih menjadi warna amat kuat dalam kehidupan keberagamaan bangsa kita. Fakta yang ada juga menunjukkan persoalan yang sama masih berulang dan bahkan diduga eskalasinya relatif meningkat terjadi juga selama tahun 2010 yang sedang kita lalui bersama. Perlu upaya serius dan berkelanjutan dari pemerintah untuk menyikapi dinamika masyarakat yang semakin kritis dalam merespon berbagai perubahan sosial ekonomi yang pesat sebagai dampak dari globalisasi dan keterbukaan informasi. Peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk mengarahkan setiap perubahan yang ada ke arah yang positif dan memberdayakan setiap lapisan masyarakat.
Kita seharusnya tidak melupakan sejarah panjang bangsa ini, suatu monumen nasional yang telah merefleksikannya sebagai miniatur kebebasan beragama dan berkeyakinan yang disertai keragaman sosial budaya masyarakat kita kepada generasi penerus bangsa ini, yaitu Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Kita juga bisa merenung sesaat dengan hati nurani yang bersih menatap megahnya personifikasi harmoni dan kerukunan keberagamaan yang tercermin pada berdirinya Mesjid Istiqlal dan Gereja Katolik Katedral berdampingan dengan damai dan harmonis di Jakarta, ibukota negara Indonesia tercinta. Idealnya, fenomena tersebut seharusnya menggugah kesadaran setiap anak bangsa untuk membuang stigma kebebasan beragama dan berkeyakinan hanya sebagai ilusi belaka.
Apa yang harus dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah diatas, antara lain melakukan pendekatan sosial budaya terhadap masyarakat setempat dimana persoalan tersebut mengemuka, melakukan pengawasan terhadap kemurnian pelaksanaan peraturan terkait dengan pendirian rumah ibadat, dan meningkatkan peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Pendekatan Sosial Budaya
Sebagaimana dikemukan Abdus Sair sebelumnya, pendekatan sosial budaya menjadi penting dalam menyikapi faktor internal pembangunan nasional. Sikap kegotongroyongan yang sudah merupakan karakter bangsa seharusnya tetap dipelihara untuk mengurangi dampak negatif dari kebhinekaan suatu masyarakat yang berdomisili di suatu daerah. Sikap tenggang rasa yang tumbuh mengakar pada masyarakat akar rumput seharusnya dipelihara oleh para pemimpin agama dan tokoh-tokoh masyarakat setempat sehingga tidak memicu pertentangan atas suatu perbedaan, akan tetapi bagaimana saling menghargai atas perbedaan yang ada dalam suatu masyarakat. Harus kita akui bahwa sebagian besar masyarakat akar rumput masih bersikap primordialis dalam menyikapi suatu kondisi atau perubahan di masyarakat. Peran para pemimpin agama dan tokoh-tokoh masyarakat di sekitarnya sangat penting untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan dampak negatif faktor primordialis ini untuk mencari solusi atas suatu perbedaan atau konflik yang mungkin timbul.
Penegakan Hukum
Selain pendekatan sosial budaya, faktor penting yang juga harus menjadi fokus perhatian pemerintah adalah penegakan hukum. Sebagai negara hukum, negara harus menjamin setiap warga negara atau komponen bangsa ini mendapatkan rasa adil terhadap penegakan hukum. Persoalan kebebasan beragama dan berkeyakinan, salah satunya terkait dengan pendirian rumah ibadah, bisa disikapi berawal dari undang-undang, peraturan-peraturan, dan kesepakatan bersama yang sudah ada. Sejauh mana efektivitas pelaksanaan dasar hukum tersebut sangat tergantung kepada faktor pengawasan. Disinilah pentingnya peran aparatur negara untuk memantau, mengevaluasi, dan menegakkan pelaksanaan ketentuan hukum yang ada. Penegakan hukum secara adil menjadi salah satu solusi menjembatani dan mengakomodir hak dan kewajiban setiap komponen masyarakat dalam mewujudkan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang telah dijamin oleh suatu negara hukum. Mari kita berperan aktif sebagai anak bangsa sehingga masyarakat yang berkeadilan, berdemokrasi, dan sejahtera seperti yang dicita-citakan oleh para “founding” bangsa ini segera dapat terwujud.
Akhirnya, penulis berharap penekanan pada upaya-upaya tersebut diatas dapat meredam gejolak yang meluas dan tak terkendali dari sekelompok anak bangsa terhadap sesama anak bangsa lain yang ingin memperoleh haknya dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan di bumi Indonesia yang adil, demokrasi, dan sejahtera ini.
Bogor, 15 September 2010
Rustam SDP15
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H