Cerita, ..., selamanya tentang manusia, kehidupannya, bukan kematiannya. Ya, biarpun yang ditampilkannya itu hewan … – Pramoediya Ananta Toer
Oppung doli saya, “kakek” dalam bahasa Batak, mendapat Kapek (baca: Kapék) dengan usaha yang tidak mudah. Anjing itu diperoleh dari temannya keturunan Tionghoa, yang buka kedai bakmi di Siborongborong. Sebelum Kapekmenjadi milik kami, Oppung sudah lama berkenalan dengan salah satu hewan cerdas ini. Oppung amat menyukai anjing keturunan herder dan anjing lokal itu. Untuk perkenalan awal, Oppung tak sungkan untuk memberikan roti, mie atau daging sambil mengelus dada Kapek. Dan sengaja memberikan makanan bekas gigitannya. Ketika mereka sudah kompak, Oppung meminta supaya anjing itu menjadi miliknya. Tapi, yang empunya tak mau. “Biang datu do amang!”. (Baca: Ini anjing untuk dukun, pak!). Wah, oppung sampai menggunakan retorika supaya anjing itu menjadi miliknya; Oppung bahkan mengarang cerita juga supaya anjing manis itu segera menjadi miliknya. Diceritakan bahwa anjing serupa Kapek itu cocoknya dipelihara seorang paranormal. Tak cocok jika dipelihara pengusaha.
Terakhir, pemilik kedai itu melepaskan Kapek, dengan mengantongi sejumlah uang. Oppung memberikan uang enam puluh ribu rupiah. Ketika itu beras masih tiga ribu rupiah per kaleng. Sekarang harga beras perkaleng seratus lima puluh ribu rupiah. Berarti kalau dihitung-hitung, anjing itu sudah seharga tiga juta rupiah dalam konteks masa kini. Harga yang tergolong relatif mahal bagi petani seperti Oppung. Oppung membopong anjing besar berbulu-tipis-halus itu dengan penuh kemenangan.
Sampai di rumah, Kapek harus beradaptasi dengan sebangsanya yang lain, Nero. (Iya, namanya seperti nama Kaisar Romawi yang terkenal kejam. Banyak pengikut Isa yang dia bakar hidup-hidup ketika masa pemerintahannya). Nero barangkali anjing yang sangat beringas sesuai namanya. Sesuatu yang ganjil, Kapek selalu mengalah pada Nero. Barangkali dia menganggap Nero saudara sulungnya yang tak perlu berselisih. Keluarga kami memang pecinta anjing, dan tentu saja bukan pengagum Kaisar Nero yang biadab. Sekarang saja, anjing tetangga berbagi kepemilikan dengan kami, oleh karena belum ketemu anjing yang cocok.
Seperti sesama jenisnya, Kapek adalah teman yang setia. Sama seperti Hachiko dan Dr. Eisaburo Ueno barangkali. Setiap orang Oppung ke ladang, dia akan turut serta. Tak ‘kan pernah dia pulang duluan sekalipun tahu pulang sendiri. Tak jua dia merajuk apabila pulang kemalaman. Oppung selalu membawa anjing pemberani ini untuk menggembalakan kerbau. Dia tahu kerbau mana yang jadi peliharaan Oppung. Kapek mengenal kerbau-kerbaunya. Kerbau-kerbau itu terkadang nyasar, keluar dari kelompoknya. Segera Kapek menyalak kerbau yang terhilang itu. Kapek dan temannya selalu tahu, kemana kerbau itu. Jadi Oppung sangat terbantu, bahkan butuh jasa makhluk ini.
Sekalipun anjing relatif lebih kecil ukurannya dari kerbau, jarang ditemukan anjing yang takut pada kerbau. Pernah suatu ketika ayah saya pergi ke hutan untuk menjemput sekelompok kerbau. Ternyata kerbau liar sudah bergabung dengan kelompok kerbau-peliharaan tersebut. Kerbau liar itu sering menyerang manusia dengan membabi buta. Bersyukur memiliki Kapek dan Nero. Kerbau gila itu takut dengan anjing.
Pernah suatu saat Kapek tak kembali ke rumah. Siang itu, Oppung boru, “nenek” membawa dia ke sungai mencuci kain. Oppung boru sudah di rumah. Kemudian Oppung boru kembali ke sungai. Ternyata Kapek, masih di sungai. Segera Kapek menggoyang-goyang ekornya, berlari menyambut empunya. Kapek sesekali melompati kaki Oppung boru sambil menggonggong dengan ramah sesekali. Ternyata ada perlengkapan Oppung boru yang ketinggalan. Dia tak pulang hanya karena setia menunggui ember itu. Barangkali makhluk berbulu kombinasi kuning-hitam-kemerahan ini akan menggondol ember seandainya dia mampu.
Ketika acara makan malam bersama, Kapek akan turut hadir, walaupun tidak ikut serta berkumpul duduk bertinggung di atas tikar pandan. Dia dan Nero akan setia menunggui jadual makan malam mereka. Mereka akan bertelangkup sampai makan malam selesai. Mereka juga mengenal disiplin dan kesabaran ternyata. Dan setelah makan malam akan ke luar dari rumah. Ketika ada tamu, dia juga ikut mengiring ke rumah, dan kala disuruh keluar, maka Kapek akan keluar. Bahkan akan keluar sendiri ketika sudah melihat tamu yang datang duduk ramah bercerita dengan Oppung.
Ada juga cerita berkesan lain tentang Kapek. Oppung bercengkerama di suatu kedai dengan membawa Kapek turut serta. Kawan Oppung ini meminta rokok dengan mengambil secara langsung dari kantong depan baju Oppung. Sontak makhluk heroik ini melompat dan menyalak. Syukur teman Oppung itu tidak digigit. Begitu juga ketika Oppung memancing. Ketika pancing ditinggal sebentar, Kapek setia menunggui. Dan ketika kawan Oppung sepemancingan memegang pancing, asu yang tidur-tiduran itu segera mendongak dan mengauk.
Kapek memberikan rasa aman. Anjing memang pengawal yang paling setia yang saya kenal. Anjing jarang tertidur pulas. Dia akan berjaga dalam tidur dan terjaga. Menjadi teman yang baik dan tulus bagi si kecil di halaman. Kapek memiliki kebiasaan untuk mengelilingi perkampungan setiap malam sebelum tidur. Dia juga memiliki hobbi untuk mengantarkan Tante ke sekolah. Setelah Tante sampai ke sekolah, anjing cerdas ini baru kembali ke rumah.
Manusia adalah makhluk sosial. Demikian juga anjing. Mereka senang hidup berkelompok. Mereka mengenal kelompoknya satu sama lain. Nero, teman Kapek pernah berantam dengan anjing tetangga kampung sebelah. Nero yang kalah dan luka itu seolah-olah menyampaikan kekalahan dan penderitaanya. Segera Kapek pergi menerobos ke rumah yang empunya anjing dan membuat perhitungan dengan anjing yang melukai Nero itu. Musuh Nero pun kalah telak. Kapek menjadi pembela bagi Nero.
Anjing itu mati dalam usia yang dua belas tahun. Dia mati terbaring di pinggir jalan setelah mengantar ayah saya ke SMA Swasta Simamora yang berjarak kurang dari satu kilometer dari rumah. Ketika itu ayah saya pegawai honorer di SMA itu.
Saya tak mengenal Kapek. Saya hanya (pernah) dengar dari almarhum oppung, ayah dan tetangga sebelah yang juga penyuka anjing. Tapi ketika saya masih kanak-kanak, kami juga memiliki anjing bernama “Kapek”. Barangkali Oppung menginginkan “Kapek Jr” seperti pendahulunya, yang menjadi kebanggaan dan buah bibir bagi penduduk sekampung. Saya jadi heran, mengapa orang jahat, orang yang hina, bodoh, dan miskin dimetaforkan dengan anjing. Seperti tampak dari maksim: Anjing ditepuk menjungkit ekor , yang artinya orang hina (bodoh, miskin, dsb) kalau mendapat kebesaran menjadi sombong (bd. KBI 2008: 74). Metafora ini tidak adil menurut saya.
Anjing mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai luhur. Kebajikan. Humanitas. Mereka memahami konsep cinta dan persahabatan yang kita miliki. Betapa kita belajar arti kesetiaan, keberanian, ketaatan, kepahlawanan, kepedulian, ketulusan dansemangat melayani dari binatang ini.
Ilustrasi: Patung Hachi(ko) -- lambang kesetiaan. Hachi menuggu Dr. Ueno, yang sebenarnya sudah meninggal, selama sembilan tahun di Stasiun KA. Shibuya, Jepang. (sumber: http://dreclarkson.multiply.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H