Mohon tunggu...
Rustam E. Simamora
Rustam E. Simamora Mohon Tunggu... lainnya -

~=*=~

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Maaf, Saya Menyalahkan Orang Tua itu!

15 Mei 2012   15:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:15 718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Roy jarang terlihat kompak dengan Ayah-nya. Setiap Ayah ingin memberikan nasehat atau petuah, dia langsung pergi. Ayahnya makin geram, Roy mendongkol. Kehangatan yang mulai menyelimuti segera lenyap. Ayah uring-uringan karena (merasa)anak tak menghormatinya.Anak mendongkol karena (merasa) Ayah tak memperlakukannya sebagai anak. Tak perlu heran, kejadian serupa menjadi kejadian yang biasa.

Ayah mengeluh karena sikap anaknya. Ayah menuduh anaknya sebagai anak yang tak mau mengerti orang tua. Tidak hormat. Kurang ajar, bahkan menuduh durhaka. Malu saya memperanakkan Roy teriak sang Ayah dalam pikirannya.

Anak juga melemparkan klaim yang sama. Ayah kok tak mau mengerti saya. Dasar orang tua yang kekanak-kanakan, maunya saja yang ingin dimaui. Saya hanya menghormatinya jika ia layak dihormati. Apabila Ayah ingin dihormati, ia harus jadi orang yang pantas dihormati. Demikian hardik sang anak kepada Ayahandanya di dalam benaknya. Wow, jiwanya berontak.

Kemudian hari-hari berjalan tanpa komunikasi. Lalu, komunikasi membaik. Kemudian terulang lagi.

Tak sedikit kasus seperti ini terjadi. Biasanya antara anak laki-laki dengan Ayah, anak perempuan dengan Ibu. Ada kalanya kejadian seperti ini akan mempererat kehangatan sebagai feedback atau umpan balik. Tapi tak sedikit kasus yang justru membuat ikatan keluarga merenggang, bahkan putus. Ayah yang temperamental sangat potensial untuk melukai batin anak. Bahkan bisa ‘membunuh’ jiwanya!

Maaf, Saya Menyalahkan Orang tua!

Kejadian serupa bukan hanya terjadi antara anak dan orang tua mereka. Tetapi juga antara muda-mudi dengan kaum tua. Bahkan antara teman sama usia.

Sekalipun orang tua sekarang sangat berkesan dengan kurangsopannya anak terhadap orang tua, saya justru lebih terkesan dengan kurangnya kasih sayang yang dilimpahkan orang tua terhadap anak. Maaf, saya menyalahkan orang tua. (Dalam hal ini, saya juga orang tua dari siswa saya, dan sekaligus anak dari rekan guru senior dan orang tua kandung saya).

Akar masalah itu sebenarnya sederhana saja. Ego. Ke-diri-an. Si Ayah, aku harus menjaga kehormatanku. Kau anakku. Kau milikku. Aku yang memperanakkanmu.

Tertalu sering orang tua mengambil kesimpulan dengan cepat. Mengambil kesimpulan dengan cepat sama dengan menghakimi dan menjatuhkan vonis tanpa keadilan. Sekalipun anak salah¸ tak sepatutnya orang tua ‘menghukum’ anak, jika anak belum tahu di mana letak kesalahannya. Kalaupun orang tua harus menghukum, tunggu setelah anak menyadarinya. Hukuman itu hendaknya sebanding dengan kesalahannya. Menghukum dengan dengan kasih yang berkeadilan dan keadilan yang penuh kasih.

Ketika antara anak dan orang tua berada dalam kondisi di atas, hubungan yang kaku dan dingin, tolonglah, orang tua yang melunak. Orang tua sejatinya harus proaktif untuk menyelami jiwa anak kemudian memilih sikap secara sadar dan wajar untuk merangkul (jiwa) anaknya. Dengan begitu, rasa hormat anak akan kembali kepada dekapan orang tua. Jadi komunikasi yang baik mutlak dibutuhkan untuk hubungan yang baik. Bahkan, hampir-hampir komunikasi itulah hubungan itu sendiri. Hanya karena ada komunikasi, maka ada hubungan.

Komunikasi

Komunikasi yang baik akan meminimalisir (kemungkinan) sesuatu yang buruk. Pertentangan, perselisihan, bentrok sering terjadi karena salah paham. Salah paham dapat menimbulkan bencana dan derita. Kesalahpahaman dapat diantisipasi dengan komunikasi yang baik. Komunikasi yang jelas. Kejelasan adalah kunci kesalingmengertian. Terbuka tanpa harus buka-bukaan.

Tulisan ini tidak memberikan sesuatu yang baru. Saya hanya menggemakan petuah ‘kuno’ tapi tidak kolot dan takkan pernah jadi kolot, “Segala sesuatuyang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian kepada meraka”. Tentu maksudnya bukan memperlakukan seseorang begitu saja dengan seenaknya saja karena kita menyukainya. Selera setiap orang berbeda-beda. Maksudnya saya rasa, memahami sesama kita dengan baik, sebagaimana kita juga ingin dipahami dengan segala kedirian kita, kemudian memperlakukan mereka dengan pemahaman itu.

Sebaiknya segala perkara kita hadapi dengan bertanya lebih dahulu. Bahkan kalaupun jelas, kalau masih ragu, tak ada salahnya untuk bertanya kembali. Dengan bertanya, kita lebih memahami lebih perkara. Dengan demikian kita lebih arif dalam menghadapi berbagai perkara. Sedikit tentang remaja. Mereka biasanya sangat ingin diperlakukan layaknya seperti orang dewasa. Mereka sudah menyadari konsep kehormatan, martabat atau harga diri yang sudah dimiliki orang dewasa. Ini baik. Mereka tak akan suka kalau diperlakukan laiknya anak-anak. Tapi kita juga tak boleh menganggap mereka sebagai model orang dewasa dalam bentuk yang hampir jadi. Mereka tetaplah remaja.

Sebagai orang tua hendaknya kita memikirkan tutur kata, mimic dan gerak tubuh secara sadar. Didikan kita selaras dengan hati dan pikiran dan terlebih perbuatan.

(Mohon maaf kalau saya terkesan lancang)

Salam,

R.E.S

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun