[caption id="attachment_200129" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/ Admin (shutterstock.com)"][/caption]
Hari ini, tanggal 12 Juli 2012 hari pertama saya masuk mangajar di salah satu SMA Negeri.Saya guru matematika baru di sekolah ini. Dan segera juga saya berhadapan dengan siswa baru, kelas X. Acara tatap muka kami mulai dengan perkenalan.
Pertemuan pertama ini tidak langsung diisi dengan kegiatan belajar-mengajar matematika. Usai kegiatan perkenalan, sedikit refleksi tentang karakteristik matematika, kemudian saya ingin melihat persepsi deskriptif siswa terhadap matematika dan harapan terhadap guru matematika mereka. Sengajalah saya berikan dua pertanyaan terbuka: 1) Tuliskanlah apa yang kamu pikirkan tentang matematika! 2) Apa yang kamu harapkan dari seorang guru matematika? Sengaja saya memberikan pertanyaan yang dijawab dengan tulisan karena biasanya siswa lebih suka menyingkapkan uneg-uneg mereka melalui tulisan dan hitung-hitung untuk menumbuhkembangkan keterampilan tulis mereka. Maksud saya memberikan pertanyaan terbuka, supaya siswa lebih gampang berpendapat dan lebih bebas dalam berpendapat dan memberikan informasi yang lebih kaya. Saya menekankan supaya mereka menjawab dengan semua kejujuran yang mereka miliki.
Dan sesuai dugaan, jawaban siswa cukup beragam dengan persepsi positif atau negative mereka terhadap matematika. Tapi salah satu hal yang menarik perhatian saya, jawaban siswa untuk pertanyaan pertama di atas. Saya tak mengira bahwa jawaban nomor satu ini dihubungkan dengan laku galak guru matematika.
Suka Marah dan Galak
Lebih dari setengah siswa menuliskan pengalaman dan harapan mereka dengan mengkaitkan dengan guru matematika yang pemarah atau galak. Saya kira hal ini hanya berlaku ketika zaman kami duduk di SD. Saya akan menampilkan beberapa informasi dari mereka:
“… Saya tidak suka belajar matematika karena gurunya suka marah-marah. Selama SMP, jujur saya paling benci matematika, karena gurunya suka ngomel-ngomel, marah-marah dan mukul. Kadang-kadang saya takut kalau pas les matematika, rasanya ada rasa takut, cemas dan gemetar dan gelisah. …” Krisdayanti
“… Pada waktu SMP guru saya pemarah. Saya tidak suka begitu.” Derhanika
“… saya ingin guru matematika saya orangnya tidak suka marah. Apalagi suka mukul dan membenci saya walaupun saya kurang tentang matematika. … saya tidak mau guru matematika saya menampar dan memukul. Menghukum boleh saja. …” Dedi Exuverius
“ … bagi saya matematika itu merupakan mata pelajaran tersulit dan biasanya guru MM itu galak makanya aku malas MM, tapi seolah-olah aku mau ingin mempelajarinya. …” Novaldo
“… Saya tidak suka matematika karena mulai dari SD guru matematika saya sangat galak. Saya tidak suka matematika sampai sekarang, …”
“… Matematika sangat sulit bagiku. Saya juga ga suka melihat guru matematika yang keras sama siswa yang suka menendang siswa sampai pingsan. “ Delvan
Masih ada sebelas siswa lainnya yang memberikan informasi serupa, walau memang tak se-ekstrim di atas. Kemudian saya juga mengernyitkan dahi membaca tulisan ini:
“… waktu SMP, aku pernah seriuzz (maksudnya barangkali: mencoba serius) belajar matematikanya. Tapi apa? Guru matematika kami ngak bagus menjelaskan truzz ngak peduli lagi sama kami, makanya kami semua satu kelas malas belajar matematika. … aku takut sama guru yang suka marah-marah apalagi suka memukul.” Royana
Terus Bagaimana?
Tadi pagi saya heran bercampur senang. Lebih dari sepertiga jumlah siswa kelas A6 (kelas X ruang ke-6), adalah siswa saya, alumni dari SMP tempat saya mengajar. Mereka juga tampaknya senang. Mendapat informasi yang lebih tepatnya jawaban siswa ini mengingatkan karakter guru di SMP tempat saya juga mengajar. Bersyukur tidak ada di SMP itu, dari tiga orang guru matematika yang temperamental. Tapi kami semua terkadang mau juga memukul siswa jika siswa melanggar kesepakatan guru-siswa yang dibuat bersama. Tentunya dengan beberapa ‘aturan’. Misalnya tidak memukul bagian kepala. Tadinya, saya sama sekali tidak mau memukul. Tetapi karena di lingkungan saya, memukuladalah sesuatu yang wajar demi kebaikan anak oleh orang tua mereka (biasanya SD sampai SMP), dan juga karena melihat cara pendisiplinan rekan guru, saya ngikut juga. Tapi kemudian saya sadar, pendisiplinan dengan memberikan pukulan tidak selalu memberikan pengaruh baik. Bahkan lebih banyak dampak buruknya. Dan hanya berlaku bagi sebagian kecil siswa saja.
Saya bersyukur, tidak ada alumni SMP saya tersebut yang mengenang tindakan ‘kasar’ gurunya selama SMP. Walaupun demikian, saya semakin tersadar akan ketidaksukaan, kebencian, dan ketakutan siswa terhadap guru yang pemarah. Dimulai dengan tidak suka, kemudian takut dan akhirnya phobia.
Menjadi guru memanglah sulit. Marah itu adalah natur setiap manusia. Dan saya sangat yakin, ada saatnya kemarahan demikian baik dan benar. Tapi alangkah kejamnya guru kalau marah menjadi kesukaan, main pukul menjadi satu-satunya tindakan pendisiplinan. Berhentilah marah ketika rasa marah itu yang mengendalikan. Jika tidak, siswa nantinya mencap guru, guru galak.
Semua orang pengen disayang. Terlebih peserta didik. Guru harus senantiasa waspada ketika hati yang menyayangi menjadi kering. Mata yang penuh welas asih mulai tertutup. Kalau sampai ada guru yang apatis terhadap siswa, keguruan guru macam ini sudah mati.
Terkhusus untuk guru matematika, kita harus senantiasa ingat, tidak semua siswa itu memiliki kecerdasan logis-matematis seperti yang kita harapkan.
Guru itu harus senantiasa belajar. Tampaknya benar adanya, bahwa lebih banyak yang kita harus pelajari dari siswa dari pada yang kita ajarkan/belajarkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H