Mohon tunggu...
Rustam E. Simamora
Rustam E. Simamora Mohon Tunggu... lainnya -

~=*=~

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Karena Saya Salah Memahami Fiksi

13 Desember 2013   21:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:57 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Dongeng-dongeng itu benar sekali: bukan karena menceritakan bahwa naga benar-benar ada, melainkan karena menceritakan bahwa naga-naga bisa dikalahkan”

~ G.K. Chesterton

Ketika minat baca saya melejit, yang paling sering saya baca bukan karya sastra berupa fiksi. Karena menurut saya, membaca karya fiksi itu tak begitu bermanfaat. Bahkan hanya menghabiskan waktu. Coba kalau waktu yang saya gunakan untuk membaca suatu novel sebagai waktu baca diktat kuliah, tentu akan lebih bermanfaat, bukan?

Begitulah pemahaman saya dulu. Dan rupa-rupanya salah. Sesat!

Kemudian, setelah bersahabat dengan seorang pecinta fiksi, saya mulai berpikir ulang. Apa sih menariknya membaca cerita khayalan? Saya pun mencoba membaca beberapa buku sahabat saya itu. Dimulai dari Laskar Pelangi, Sang Alkemis, dan tetralogi Bumi Manusia. Karya-karya Pram yang lain pun saya cari dan saya baca. Juga karya-karya terjemahan yang menurut saya bagus saya cari-cari.

Ternyata, membaca fiksi jauh lebih bermanfaat daripada membaca: aksioma, definisi, dalil, dan teorema. Sebab, membaca itu semua tidak menghasilkan apapun dalam mengambil keputusan pribadi yang sifatnya subjektif.

Sementara, melalui fiksi, cerita ‘bohong’, saya belajar banyak hal. Tidak perduli cerita itu sesuai dengan realita atau tidak. Tak perduli ceritanya masuk akal atau tidak. Yang penting, membantu atau menolong saya dalam membuat keputusan-keputusan pribadi dalam situasi nyata. Dan memang keputusan-keputusan krusial menurut saya sifatnya subjektif. Keputusan itu sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial, seperti: Siapakah saya? Apakah yang menjadi tujuan hidup saya? Apakah hakikat dari hidup itu? Dst.

Dan lagi, ternyata, jauh lebih baik mempelajari psikologi melalui roman daripada diktat kuliah. Sebab, pelajaran itu saya terima dan saya bangun tanpa prasangka, mengendap dan mengkristal begitu saja tanpa hafalan.

Selain itu, fiksi dapat demikian mempengaruhi cita rasa berbahasa dan membentuk persepsi. Seringan-ringannya fiksi, pasti ada ideologi atau falsafah yang diusungnya.

Mulai saat itulah sampai sekarang, fiksi sebagai kesukaan saya. Sayang, saya tak lagi punya banyak waktu untuk membaca sebagaimana ketika masih duduk di bangku kuliah dulu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun