Mohon tunggu...
Rustam E. Simamora
Rustam E. Simamora Mohon Tunggu... lainnya -

~=*=~

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ketakutan yang Membodohkan

7 Juni 2012   17:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:16 1620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Aku mau bilang sesuatu. Tapi takut kali. Takut dimarahin, diketawain, diejek, diremehin. Apa lagi responnya ngga’ baik. Sama siapakah aku harus share? Dah penat kali kepalaku. Dah sesak.

*****

Begitulah sms pengantar teman saya ketika mau curhat. Dan kompasianer ini pun dapat ide untuk menulis setelah beberapa hari absen untuk menulis (hehehe).

Ketakutan tampaknya sudah menjadi natur kita. Bahkan orang-orang tertentu memiliki rasa takut berlebih – yang bahkan tak beralasan – terhadap sesuatu hal, hewan atau benda tertentu yang disebut dengan phobia. Semisal phobia matematika. Matematika bahkan tidak bernyawa, tidak tampak rupa dan bentuknya. Tapi tidak sedikit siswa yang phobia matematika.

Kita memiliki kemampuan untuk menjangkau atau memprediksi. Tapi sayangnya, kemampuan menjangkau atau mengukur kita lebih sering dikaitkan dengan sesuatu yang negative. Bukan yang positif. Lebih banyak memikirkan “bagaimana kalau presentasi ini gagal. Tentunya aku akan malu besar”, daripada memikirkan “kalau presentasi ini sukses, apalagi yang akan aku lakukan supaya lebih baik lagi dalam berkomunikasi?”

Biasanya ada dua alasan besar mengapa rasa takut timbul. Rasa malu dan kematian. Rasa takut sering muncul karena sesuatu yang mengusik martabat kita – tepatnya ego kita. “Aku malu dengan penampilanku”. “Suaraku tidak bagus, nanti malu-maluin kalau suaraku kedengaran terlalu cempreng!”. Perhatikan nada “ku-ku”-nya.

Bahkan ada rasa malu yang sangat egois, bodoh dan menyebalkan sehingga takut martabatnya merosot. “Pak Karto kan hanya petani gurem. Dekil dan kolot. Apa nanti tanggapan orang, kalau direktur perusahaan ternama duduk bersanding dengan orang kampung yang tidak berpendidikan!”

Kemudian kematian. Rasa takut yang terdalam tampaknya adalah kematian. Banyak alasan ketakutan bemuara dengan kematian. Ketakutan seseorang terhadap hantu – yang bahkan seseorang itu pun belum pernah melihat hantu – timbul karena konsep bahwa hantu adalah suatu sosok yang mengerikan danberbahaya, dan bahkan mengancam kelangsungan hidup. Sayangnya sinetron dan film layar lebar Indonesia memelihara ini. Lucunya lagi, film hantu yang biasanya dibalut dengan sadisme, adegan vulgar, dan sarkasme ini sangat mengundang antusiasme penikmat film ke bioskop. Makin sadis, makin vulgar dan makin sarkas, film horror akan semakin menggairahkan. Dan ini akan semakin memperbesar kesempatan industry perfilman yang lebih memperhatikan pendapatan daripada pencerahan. Yang penting, pundi-pundi penghasilan makin gembung.

Kematian adalah sesuatu yang niscaya. Tidak tertolak dan tidak tentu, kapan akan datang. Ada yang bilang, “saya tidak takut dengan kematian. Saya hanya takut dengan proses kematian itu!” Ungkapan yang aneh. Mana ada kematian tanpa proses untuk mati. Kematian itu bukan hanya kata benda. Tetapi juga proses. Orang-orang yang hidup dengan saleh, biasanya tidak takut dengan kematian. Seperti pelajaran dari Agastia, “Saya ingin belajar bagaimana mati dengan benar. Mati dengan benar. Mati sebagai orang benar karena hidup sebagai orang benar”. Ungkapan ini terkesan tidak menunjukkan nada ketakutan akan kematian. Sebaliknya, keberanian untuk kehidupan.

Tragis, Ketakutan itu Dipelihara dan Dibiakkan sejak Dini

Sampai sekarang saya masih melihat orang tua, khususnya ibu yang mendidik anaknya untuk menjadi penakut. Tidak begitu sulit untuk melihat contohnya. Di kampung saya, lazim seorang ibu untuk menggedor dinding papan rumahnya untuk mendiamkan anaknya yang sedang menangis. Setelah menggedor, Ibu tadi segera diam untuk menimbulkan kesan mencekam. (OK juga acting Ibu ini). “Mampus! apa itu? Jangan nangis, nak iya!”. Anak kecil berumur dua-tiga tahun itu pun diam. Ibu berhasil mendiamkan anak bayinya. Dan juga berhasil ‘mendidik’ anaknya menjadi penakut.

Contoh lain. Ketika anak kecil tadi sedang merajuk. Susah diajak untuk makan. Ibu itu pun mengancam akan segera memanggil tukang suntik, bidan. Si anak pun menurut. Memaksa diri untuk makan dengan penuh tanda tanya. Wajar saja si anak ini menjadi takut bukan main ketika jarum suntik harus menancap pantatnya ketika mengobati demamnya. Belum pun disuntik si anak sudah menjerit. Anehnya, si Ibu dengan lugunya, barang kali lebih tepat, dengan bodohnya bertanya, “anak saya kok kelewat takut kalau mau disuntik?”

Contoh lainnya. Anak yang lumayan aktif, untuk menertibkannya, ada saja Ibu yang mengancam anaknya, “Nak. Jangan pegang itu. Jangan ribut-ribut. Nanti datang polisi!”. Padahal anaknya pun belum mengenal polisi. Terjadi miskonsepsi. Si anak tumbuh dengan konsep, bahwa polisi itu sesuatu yang harus ditakutkan. Masih banyak contoh serupa bagaimana rasa takut itu disemaikan. Si Ibu memang didorong kasih sayang untuk mengingatkan anaknya supaya jangan lasak. Ibu takut anaknya kenapa-napa. Tapi permisi tanya, apakah ini didikan yang baik?

Mengantisipasi Phobia

Phobia timbul dari kejadian yang berpotensi traumatis. Ada orang yang phobia terhadap kecoa. Kecoa yang bahkan salah satu makhluk paling penakut itu ternyata bisa menyebabkan seseorang phobia. Hal ini bisa terjadi bukan karena kecoanya. Tetapi suatu kejadian traumatis yang melibatkan kecoanya. Misalnya ketika kanak-kanak, seseorang dikejutkan oleh kecoa ketika membongkar koleksi mainannya.

Anak itu tadi melakukan penghindaran terus menerus terhadap kontak dengan kecoa. Rasa takut itu akhirnya menjadai rasa takut yang berlebihan. Timbullah phobia. Rasa takut yang menyebabkan penghindaran akan menyebabkan phobia terus berlanjut. Ketika sudah dewasa pun anak itu tadi takut dengan kecoa. Begitu jugan sebab dan kelangsungan phobia-phobia lainnya.

Sangat baik mendengarkan nasihat ini. “Jika anda memencet rasa taku ketika masih kuncup, maka rasa takut itu tidak akan pernah tumbuh menjadi phobia.”

Merayakan Keberanian

Rasa takut itu harus dihadapi, bukan dihindari. Baiknya kita tidak memelihara ketakutan akan apa pun juga. (Kecuali terhadap Dia yang sanggup membinasakan raga maupun jiwa.Anehnya terhadap Makhluk ini pula kita tidak takut. Ketakutan terhadap boss lebih ditolerir daripada ketakutan kepada God).

Suatu hari yang biasa dalam suatu kehidupan normal dapat memperhadapkan seseorang pada berbagai kesempatan untuk menunjukkan keberanian dan kepengecutan. Demikian seru Velarde. Untuk hidup dengan karakter yang berani, seseorang harus mampu mengolah rasa takut. Berani bukan berarti tidak ada rasa takut sama sekali. Bisa jadi sangat takut. Berani berartimampu menghadapi dan mengolah ketakutan. Ketakutan itu sedikitpun tidak menyurutkan semangatnya. Tidak mengendalikannya sama sekali. Ia hanya dikendalikan ambisinya untuk memperjuangkan kebajikan.

Sering kita kurang menyadari, keputusan-keputusan yang kita ambil setiap hati, betapa pun sederhananya, demikian berpengaruh terhadap karakter kita. Keputusan-keputusan kecil yang kita ambil setiap hati, akan disemaikan di dalam watak kita. Akumulasi dari keputusan ini sendiri yang membentuk pribadi macam apa seseorang. Pilihan-pilihan kecil, atau perkara-perkara kecil yang diambil setiap hari, luar biasa mempengaruhi karakter seseorang dalam waktu yang lama.

Itulah sebabnya. Dalam menguji integritas seseorang tidak perlu dengan memperhadapkan pilihan ekstrim hidup atau mati. Cukup dengan melihat keseharian seseorang itu.

Masihkah kita memelihara rasa takut yang membodohkan?

Dikutip oleh Yonky Karman dalam esai “Kesimpulan Hidup”; dimuat di Harian Kompas

Gillian Butler dan Tony Hope, Manage Your Mind: Hidup dengan Menata Pikiran (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), hlm.202.

RobertVelarde, The Lion, the Witch, and the Bible, Pioner Jaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun