Mohon tunggu...
Rustam E. Simamora
Rustam E. Simamora Mohon Tunggu... lainnya -

~=*=~

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pantasanlah Lebih Rendah-rendah Nilai Mahasiswa di Kelas Ini

29 Mei 2012   09:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:38 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Tahulah, Bang. Kalau ke PTN itu kan harus cuci rapor dulu..”

Kira-kira seperti itulah penuturan adik stambuk saya ketika kami cerita tentang adiknya. Adiknya berencana akan melanjutkan studi ke salah satu universitas negeri di Medan. Si Adik katanya tergolong siswa yang malas belajar, padahal kemampuan atau potensi akademiknya rata-rata. Jadi, hampir bisa dipastikan, kemungkinan masuk si Adik ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN), sangat tipis. Untuk menyiasati, Si Adik diupayakan masuk melalui jalur PMP (Panduan Minat dan Prestasi). Supaya peluangnya makin besar, nilai rapor direkayasa. Adik stambuk saya ini mengenalkan istilah ”cuci rapor”. Ada juga yang bilang “mark up rapor”.

*****

Kompasianer ini juga pernah mengalami hal serupa ketika masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA).

Tahun 2006, akhir-akhir semester genap, datang undangan dari beberapa universitas dan politeknik dari dalam dan luar provinsi ke sekolah kami. Ketika itu saya bingung mau nyoba PMDK ke perguruan tinggi yang mana. (Guru dan orang tua di tempat kami lebih akrab dengan penggunaan PMDK (Pengusulan, Minat dan Kemampuan) daripada PMP). Informasi tentang jurusan dan universitas sangat minim. Akhirnya cerita dengan orang tua. Seakan orang tua saya yang mau kuliah, Bapak pun mengusulkan supaya ngambil (jurusan) matematika saja ke salah satu universitas negeri di Medan. Bapak sangat berbesar hati jika saya kelak menjadi guru.

Cuci Rapor Malah jadi Kotor dan Kotor

‘Kemauan’ Bapak pun diikuti. Di sekolah, rapor saya diganti. Kata gurunya, biar peluang masuknya lebih besar. (sekolah mana sih yang tidak bangga kalau alumninya banyak yang diterima di perguruan tinggi). Saya ngikut saja, apa yang dibilang sama guru. Saya perhatikan rapor ‘baru’ saya. Nilainya ‘buncit-buncit’ semuanya. Nilai saya yang tadinya dinominasi oleh nilai tujuh dan delapan, sekarang menjadi delapan dan Sembilan. Peringkat saya pun naik. Jujur, waktu itu saya merasa takut juga. Ada sesuatu yang berteriak di dalam diri saya. “Itu bukan kamu!”.

Rapor baru saya terkesan kurang bersih. Barang kali gurunya kurang hati-hati dalam ‘mencuci’. Rapor saya yang lama tidak ada yang kena tipeks. Rapor baru ini, ada sekitar lima kali kena tipeks. Dan beberapa tipeks-an, pada tempat yang kontras, yaitu kotak ranking. Bisa dibilang rapor baru saya kotor dan kotor. Kotor karena tipeks dan kotor karena rekayasa. Saya tidak pernah bangga dengan nilai rapor baru saya itu. Bahkan malu!

Inilah salah satu halaman rapor baru itu. (Dokumentasi Pribadi)

Enak-an Lewat Tes

Setelah mengikuti Ujian Nasional (UN), saya menggantikan anak guru untuk belajar persiapan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di Tarutung. Anak-guru ini tidak mau bimbingan intensif di sana. Jadi jatah dari sekolah, saya yang mengisi.

Setelah belajar sekitar dua minggu, informasi penerimaan mahasiswa jalur PMP datang. Saya tidak diterima. Saya tidak kecewa ataupun sedih. Merasa wajar saja kalau tidak diterima. Saya sudah nyaman belajar untuk mempersiapkan diri masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) lewat tes. Apalagi ketika beberapa kali Try Out, kecuali satu kali, selalu lulus. Bahkan nilainya selalu lebih dari passing grade. Saya pun optimis dengan hasil simulasi itu.

Singkatcerita. Saya diterima di salah satu universitas negeri di Medan. Dan mendapat beasiswa pula dari Pemda Kabupaten Tapanuli Utara. Betapa saya harus bersyukur, karena beasiswa ini diutamakan bagi mahasiswa berprestasi yang masuk via SPMB. Berarti kalau lulus via PMP, kemungkinan besar saya tidak dapat beasiswa.

Ketika perkuliahan berlangsung, saya tidak perlu takut seperti rekan mahasiswa yang masuk lewat PMP, katanya kalau Indeks Prestasi (IP) mereka rendah selama dua semester berturut-turut, mereka akan di drop out. Memalukan kalau sempat terjadi yang beginian.

Pantasanlah lebih rendah-rendah nilai mahasiswa di kelas ini …

Awal semester pertama, ada-ada saja dosen yang mempertanyakan siapa yang masuk lewat PMP. Ketika para mahasiswa yang masuk lewat PMP itu mengacungkan tangan, dosen biasanya ngangguk-ngangguk sambil memberikan seulas senyum. Teman saya, mahasiswa PMP, tampak tidak senang.

Semua mahasiswa yang masuk melalui PMP, ada di kelas kami. Suata saat, dosen senior, Pak Profesor, mengeluarkan pernyataan yang kurang mengenakkan -- bisa jadi melukai rekan mahasiswa yang masuk melalui jalur PMP. “Pantasanlah nilai kelas A ini rendah-rendah. Di sini rupanya semua mahasiswa PMP!”.

Saya juga pernah mendapat kabar, bahwa dalam waktu yang sama, dua orang mahasiswa PMP dari SMA saya itu, dikeluarkan dari salah satu institute di Jawa. Kemudian satu orang, seangkatan dengan kedua orang tadi, memilih untuk transfer ke universitas swasta di Medan, karena merasa tidak mampu mengikuti kuliah. Teman sekampusnya bilang, bahwa mahasiswa ini sebenarnya sudah lampu merah juga. Kemungkinan besar akan di DO.

Dengan resiko di-drop out, dan kredibelitas dipertanyakan, apakah sekolah masih mau melakukan mark up atau cuci rapor?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun