Aaron Hartono/1
Praktik curang dalam pengangkatan guru besar di Indonesia telah menjadi penyakit akut dalam dunia pendidikan. Kasus ini membuka mata publik pada kelemahan sistem yang dimanfaatkan oleh pejabat dan politikus untuk meraih gelar akademik secara tidak sah.
Fenomena ini mencerminkan bagaimana pihak-pihak tertentu mengeksploitasi celah regulasi demi keuntungan pribadi. Regulasi yang hanya menekankan persyaratan kuantitatif seperti angka kredit dan publikasi jurnal, tanpa memeriksa proses pencapaian yang sebenarnya, menciptakan ruang bagi manipulasi dan penipuan. Ini bukan hanya merusak integritas akademik, tetapi juga menginjak-injak kerja keras dosen yang berjuang dengan jujur.
Aliansi Akademisi Indonesia Peduli Integritas Akademik menegaskan bahwa kasus pengajuan guru besar yang melanggar etika akademik dan hukum telah berlangsung lama. "Semakin banyak pejabat dan politikus yang berhasil memperoleh gelar guru besar dengan cara yang tidak benar. Kejadian ini terus berulang dan yang terlihat hanya puncak gunung es. Pemerintah pun terkesan membiarkan tindakan ini," ujar mereka. Ini mengindikasikan adanya masalah sistemik dalam proses pengangkatan guru besar yang diabaikan oleh pihak berwenang.
Aliansi juga menyoroti dampak buruk dari praktik curang ini terhadap usaha para dosen yang bekerja dengan integritas untuk memajukan ilmu pengetahuan. Mereka menyerukan agar sivitas akademika tetap memegang teguh etika dan meminta Kemendikbudristek untuk mencabut jabatan guru besar yang diperoleh dengan cara curang. Skandal ini telah merusak tidak hanya individu, tetapi juga seluruh sistem pendidikan tinggi di Indonesia.
Skandal ini seperti bangunan dengan fondasi yang rapuh; meski tampak kokoh, sedikit guncangan dapat meruntuhkannya. Begitu pula dengan integritas akademik: bila terus diabaikan dan tercemar oleh praktik curang, kredibilitas institusi pendidikan akan runtuh. Seperti fondasi yang kuat diperlukan untuk mendirikan bangunan, dunia akademik membutuhkan integritas dan kejujuran sebagai dasar untuk menjaga kualitas dan kepercayaan publik.
Menjelang peringatan Kemerdekaan Indonesia yang ke-79 pada 17 Agustus 2024, skandal ini menunjukkan bahwa kemerdekaan di bidang pendidikan masih jauh dari kenyataan. Meskipun sudah merdeka selama 79 tahun, dunia akademik kita masih terbelenggu oleh kepentingan pribadi dan manipulasi kekuasaan. Dalam semangat kemerdekaan, pendidikan harus menjadi pilar kokoh yang bebas dari kecurangan, memastikan setiap pencapaian akademik diperoleh dengan integritas.
Bila dibandingkan dengan negara-negara lain berdasarkan peringkat QS World University Rankings, kualitas pendidikan tinggi di Indonesia masih tertinggal. Universitas-universitas ternama di Indonesia belum banyak yang menembus peringkat teratas dunia, sementara negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia memiliki universitas yang lebih diakui secara global. Skandal ini hanya memperberat upaya Indonesia untuk meningkatkan posisi di kancah internasional. Sementara negara lain terus menjaga dan mengembangkan integritas akademik, Indonesia terperosok dalam praktik yang merusak reputasi dan kualitas pendidikan.
Skandal pengangkatan guru besar ini bukan sekadar kasus pelanggaran, tetapi cermin tantangan besar yang dihadapi pendidikan nasional. Di saat bangsa lain melangkah maju, Indonesia justru berhadapan dengan krisis yang bisa meruntuhkan fondasi akademik. Dalam semangat Kemerdekaan yang ke-79, sudah saatnya kita kembali pada nilai-nilai kejujuran dan integritas untuk membangun sistem pendidikan yang kuat dan bermartabat. Pemerintah dan sivitas akademika harus bertindak tegas untuk menghapus praktik curang dan memastikan pencapaian akademik diraih dengan kerja keras dan kejujuran.
Korektor: Russell Darren Wilaysono
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H