"Tidak," sahut Panitis "Aku tidak berdesah. Aku sedang menyesal."
"Apa yang paman sesali?"
"Angger sudah mulai berkelahi dengan pertimbangan-pertimbangan sendiri. Angger melihat kewajaran di dalam diri angger, tetapi angger tidak mau mengakui."
"Bohong!" teriak Mas Hario Dalem tiba-tiba. Wajahnya benar-benar menjadi merah. Tanpa disangka-sangka ia melangkah maju mendekati Panitis sambil menudingnya "Jangan berkhianat terhadap pimpinanmu paman. Paman sedang berusaha melemahkan hatiku?"
"Kekuatan hati seseorang tidak harus ditampakkan pada kekerasan pendirian yang membabi buta. Mungkin angger mampu menghancurkan kadipaten. Tetapi itu perbuatan putus asa. Angger benar-benar kehilangan akal. Dengan demikian maka beribu-ribu jiwa akan kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian, jika sawah-sawahnya dihancurkan. Mereka akan kelaparan dan mereka akan mati sia-sia."
"Itu adalah akibat dari kekerasan si Surobahu dari Mataram. Kenapa mereka tidak menyadari bahwa mereka harus menyerah?"
"Siapakah yang keras kepala? Siapakah yang tidak menyadari keadaannya?"
"Keterlaluan," potong Mas Hario Dalem "Paman benar-benar telah berkhianat. Karena itu maka tidak sewajarnya paman ada di dalam barisanku."
"Apakah aku harus pergi ke laskar Mataram?"
"Tidak, tidak pada barisanku dan tidak pula pergi ke Mataram. Sebab dengan demikian maka pengkhianatan paman akan menjadi sempurna."
"Jadi, apa yang harus aku kerjakan?"