Kini Begawan Abiyasa hanya tinggal berhadapan dengan dua putranya.
"Kulub Drestarasta, kau sudah mendengar sendiri kesanggupan Nini Sugala. Kau tidak boleh menyiakannya, hormatilah ia sebagai penolongmu, sayangilah ia kelak sebagai istrimu. Begitu pula anakmu yang kelak lahir dari rahimnya."
"Kasinggihan rama begawan, " jawab pangeran Drestarasta.
"Dan untuk kamu Widuraa.. ada tugas yang tidak kalah penting."
"Hamba rama begawan."
"Bantulah kangmasmu Drestarasta sebab bagaimanapun juga keadaanmu lebih baik daripadanya. Siapa lagi kalau bukan saudaranya yang harus menolong, sedangkan kangmasmu Pandu telah disibukkan oleh tugas-tugasnya. Kau sanggup Widura?"
"Tentu rama, putranda tidak berkeberatan. "
"Bagus ngger, semoga budi baikmu membawa kebaikan pula bagi kehidupanmu kelak, "kata sang resi, "kalau firasat rama ini benar maka Nini Sugala akan dikaruniai seorang anak. Menjelang kelahirannya kelak boyonglah ia ke Panggombakan, rawatlah ia dan bayinya seperti halnya keluargamu sendiri. Rama yakin kau dan istrimu mampu melakukannya dengan ikhlas Widuraa..!"
Terkesiap hati Widura mendengar wejangan serta kepercayaan dari ramandanya yang tak lain adalah seorang resi linuwih dari pertapaan Retawu.Â
Hatinya merasa terharu oleh kelembutan sikap sang rama, maka Raden Widura si anak bungsu itu segera merangkul kaki dan ambyuk menangis di bawah belaian tangan yang kurus kering.
Lebih-lebih Pangeran Drestarasta yang merasa dirinya menjadi beban. Mendengar tangisan adiknya Widura maka iapun ingin ikut larut dalam keharuan. Tangannya segera meraba-raba mencari tempat di mana keduanya berada. Maka di dalam bilik yang agak tersembunyi itu, di saat lewat tengah malam, tiga orang lelaki satu keluarga menangis bersama dibuai oleh perasaan haru yang tak terhingga. Suara tangisan mereka terdengar pelan agak tertahan bagaikan melengkapi nyanyian jengkrik dan belalang di belakang istana kerajaan Astina.