Kini dengan penuh ksatria Setyaki telah kembali menyimpan senjatanya.
Selangkah demi selangkah ia mendekati lawannya. Para Kurawa yang ada di tempat itu menyaksikannya dengan dada yang semakin berdebar.Â
Terutama Patih Sengkuni yang bagaikan berdiri di atas bara api.Â
Namun untuk maju ke depan iapun masih ragu-ragu sebelum menerima isyarat dari Burisrawa.
Sambil menggeram Setyaki berkata: "Wahai setan berambut gimbal, kita telah sampai pada saat penentuan. Aku masih ingin mencoba memperingatkan kau satriya yang malang. Bersikaplah yang sopan karena aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun. Kalau kau masih sebodoh itu, jangan salahkan kalau saat ini kau akan tinggal namamu saja."
Mendengar tantangan itu darah Burisrawa bagaikan menyala, terdengar giginya gemeretak.Â
Tiba-tiba saja tanpa disangka ia berteriak nyaring. Dengan dahsyatnya ia menerkam musuhnya tepat seperti serigala yang buas menerkam mangsanya.
Tetapi Setyaki telah sampai di puncak ilmunya. Karena itu betapapun cepatnya terkaman itu, ia sengaja tidak menghindar.
Serangan Burisrawa yang tak terduga itu mengenai keningnya.Â
Dan sesaat membuatnya terasa pening, namun dengan sedikit menggoyangkan kepalanya lenyaplah rasa pening itu.
Kini yang ada hanyalah kemarahan yang meluap-luap dalam diri Sang Bima Kunthing itu.Â