Malam terasa hening ketika sepasukan kecil Kadipaten Tuban tengah beristirahat di pinggiran hutan Jati Peteng, di sebelah barat kadipaten. Langit sedang berhias rembulan, memancar redup tersembul di atas laut utara. Dari jauh nampak awan berhembus, ada kalanya tebal memutih namun sebentar kemudian menipis bagaikan kapas tertiup arus angin yang lembut. Suara binatang malam kadang-kadang terdengar sayup dari kejauhan, menambah suasana keangkeran hutan Jati Peteng di sekitar tahun 1455 M ini.
Para prajurit Tuban itu masih tertidur, mungkin melepaskan rasa lelah dan kantuk yang menghinggapi tubuh mereka setelah seharian sepasukan kecil ini bertugas mendampingi tentara Majapahit untuk mencari warga Tuban yang tercatat sebagai pembangkang pajak.
Agak jauh dari tempat mereka beristirahat nampak dua orang laki-laki sedang berbincang dengan seriusnya. Rupanya salah satu di antara mereka adalah Raden Syaid putra Tuban yang telah ditugaskan oleh Ayahanda Wilatikta untuk menemani para tentara kerajaan itu.
"Angger Mas Syaid, aku adalah pemomongmu sejak anak mas masih kecil. Kalau hari ini angger membangkang dari panggilan ayahanda, sama saja angger tidak mempercayai paman lagi. Bukankah aku yang kali ini ditugaskan Gusti Tumenggung untuk menjemputmu?"
"Ma'af paman Aji, bukan begitu maksudku. Seperti yang paman katakan kalau aku harus bertanggung jawab atas penghadangan terhadap prajurit Majapahit. Lalu apakah aku harus menghadap Raja dan mohon ampun kepadanya?"
"Bukan begitu anak mas, maksud paman bertanggung jawab terhadap persoalan ini berarti harus bersedia melakukan apapun yang diminta oleh ayahanda Tuban."
"Jika ayahanda memerintahkan aku menghadap Sang Prabu?"
"Apa boleh buat."
"Ah, tidak Paman. Aku tidak akan ke Majapahit saat ini," Kata Raden Mas Syaid seraya bangkit dari duduknya "Bukan karena aku takut menghadapi hukuman apapun yang akan dijatuhkan karena perbuatan kawan-kawanku. Tetapi aku merasa bahwa belum saatnya aku menghadap. Aku sudah berjanji dalam hati, bahwa aku tidak akan berhenti memperjuangkan rakyat kecil jika mereka masih dibebani pajak yang tinggi. Karena itu aku tidak akan menghadap dan bertemu dengan mereka sebelum mereka memberhentikan peraturan itu."
Orang yang telah dipanggil Paman Aji itu mengangguk-angguk kecil. Katanya kemudian, "Itulah sulitnya, ngger. Sebenarnya aku sependapat, bahwa sebaiknya memang kamu tidak usah datang ke ibukota apapun alasannya. Tetapi kenyataan bahwa angger termasuk bagian dari para perusuh itu agaknya yang dapat menambah Gusti Tumenggung menjadi sulit bersikap. Apalagi beberapa prajurit ibukota itu telah terluka akibat kejadian itu"
Pangeran Tuban itu bergumam seakan-akan kepada diri sendiri, "Aku telah bertekad tentang suatu perjuangan dan aku tidak akan surut apapun yang terjadi."