Sebuah kereta tengah melaju perlahan di jalan bebatuan, di sebuah hutan yang tidak terlalu lebat. Di belakangnya nampak sekelompok kecil prajurit mengikuti, sementara di depan mereka berlari seekor kuda yang dikendarai oleh pemuda gagah berdada lebar dan tegap. Pandangan mata pemuda itu tajam menatap ke depan sambil sekali-kali menengok ke kanan dan ke kiri penuh selidik. Pemuda itu juga berpakaian keprajuritan dengan sebilah keris terselip di punggungnya. Terkadang dia melarikan kuda agak kencang meninggalkan rombongan di belakangnya, namun setelah dirasa aman kudapun lantas bergerak lamban seolah-olah menunggu teman-temannya.
Siapakah gerangan pemuda itu ? Tidak lain dia adalah Raden Arya Ronggolawe yang tengah ditugaskan ayahnya, Ki Wiraraja, untuk mengantar Dewi Tribhuwaneswari menyusul suaminya, yaitu Raden Wijaya di hutan Tarik. Ikut dalam rombongan kecil itu di samping sang putri sendiri juga ada Arya Banyak Kapuk serta beberapa prajurit pilihan lain. Mereka baru saja turun dari kapal di pelabuhan Canggu setelah menyeberangi Selat Madura.Â
Peristiwa itu terjadi setelah Raden Wijaya menerima hadiah hutan tarik dari Prabu Jayakatwang. Memang saat keadaan belum aman, semua istri Wijaya dititipkan di Madura. Dan sekarang, Dewi Tribhuwaneswari mewakili adik-adikya melepas rindu pada sang suami sambil menyaksikan keadaan perkampungan baru itu.
Sekali lagi, kepala pengawal itu bernama Raden Arya Ronggolawe. Sebuah nama yang tidak asing bagi telinga siapa saja. Dia adalah Pangeran Tuban yang kelak dinobatkan sebagai adipati pertama di tempat kelahirannya sendiri. Pengabdiannya kepada keluarga Wijaya sungguh tidak terukur. Bahkan hampir sebagian besar hidup ksatria ini dihabiskan untuk mengabdi kepada rajanya.Â
Akan tetapi meskipun Ronggolawe dikenal sebagai Adipati Tuban, sebenarnya cucu Ki Ageng Papringan ini secara resmi hanya berkesempatan menduduki kursi adipati sekitar 3 atau 4 tahun saja, yaitu sejak dia dilantik oleh Prabu Kertarajasa Jayawardhana (Raden Wijaya) tahun 1293 sampai dengan saat gugur memperjuangkan keyakinannya di tahun 1296.
SIAPAKAH SEBENARNYA RONGGOLAWE
Begitu besar dan populernya nama Ronggolawe sampai tidak sedikit pujangga yang meluangkan waktu untuk menuliskan kisahnya. Bentuk tulisanpun berbeda-beda, ada yang berbentuk cerita prosa dan ada pula yang berupa puisi yang ditembangkan (kidung). Anehnya di antara sekian banyak tulisan itu tidak sedikit yang bertentangan satu sama lain. Besar kemungkinan di antara para pujangga sendiri pemahamannya berbeda-beda tentang identitas serta perjalanan hidup ksatria utama ini.
Kisah tentang Ronggolawe antara lain dapat dijumpai pada Roman Pararaton, Kidung Panji Wijayakrama, Kidung Harsawijaya, Kidung Ronggolawe, dan Serat Babad Toeban. Dari beberapa tulisan itu Ronggolawe difigurkan secara bermacam-macam. Dalam Kidung Panji Wijayakrama Ronggolawe disebutkan sebagai putra Arya Wiraraja atau Arya Dikara, yaitu seorang adipati Sumenep yang menolong Wijaya saat dikejar-kejar oleh tentara Jayakatwang.
Cerita ini didukung oleh Kidung Ronggolawe. Bahkan diceritakan pula bahwa Arya Wiraraja kemudian menjadi penasehat Wijaya yang membujuk Prabu Jayakatwang untuk mau menerima pengabdian menantu Kertanegara itu. Bangsawan Madura ini jugalah yang merupakan arsitek utama atas strategi Wijaya menghancurkan tentara Tar-tar serta mendirikan kerajaan Majapahit di tahun 1293.
Tetapi Kidung Harsawijaya dan Serat Pararaton menyatakan lain, yang menjadi putra Wiraraja bukanlah Ronggolawe melainkan Nambi. Saat Ronggolawe berjuang untuk kejayaan Wijaya, Nambi masih berdiam di daerah Madura. Diceritakan pula bahwa Ronggolawe adalah seorang ksatria yang dipercaya oleh raja untuk mengemban jabatan mahapatih di kerajaan Majapahit.
Lain halnya dengan Serat Babad Toeban yang disajikan dalam bahasa Krama Inggil. Di dalam buku ini dijelaskan asal-usul Ronggolawe. Bahwa dia adalah anak seorang ibu Nyai Ageng Lanang Jaya, yaitu putri pertama Ki Ageng Papringan dari Tuban. Ki ageng mempunyai dua orang putri, yaitu Nyai Ageng Lanang Jaya dan Nyai Ageng Ngeso yang menurunkan Raden Arya Kebo Anabrang.