Mohon tunggu...
Rusni
Rusni Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dilema Ibu Rumah Tangga, Antara Bekerja atau "Resign"

5 Juli 2018   22:03 Diperbarui: 8 Juli 2018   14:51 7026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap orang ingin meraih kesuksesan. Sukses dalam pekerjaan, sukses dalam studi atau dalam berkeluarga. Semua pilihan, tergantung diri kita sendiri.

Saat ini, ada beberapa pasangan yang menunda punya anak setelah menikah. Hal itupun pilihan karena pertimbangan untuk meraih kesuksesan dalam hal keuangan atau pekerjaan lebih dulu. Namun, kebanyakan pasangan memilih untuk segera merencanakan kehadiran anak dalam keluarga barunya. 

Setiap kehadiran anak akan disambut dengan sukacita oleh keluarga, apalagi bagi mereka yang sudah lama menantinya. Tapi setelah itu akan muncul masalah bagi pasangan yang bekerja. Siapa yang akan menjaga si kecil?

Mencari pengasuh bukan hal yang mudah. Kadang sudah cocok orangnya tapi bayarannya terlalu mahal, atau sebaliknya. Beberapa pengalaman teman sudah punya pengasuh yang tepat tapi tiba-tiba minta pulang izin karena sesuatu hal tapi tidak kembali lagi. Akhirnya harus mencari pengasuh baru.

Dalam setahun saja bisa punya pengasuh dua atau tiga orang. Ini sangat menguras pikiran dan tenaga, karena harus mengajari mereka dari awal dan belajar karakter mereka. Tidak hanya orang tua, anak pun harus beradaptasi dengan pengasuh-pengasuh barunya. Hal itu kurang baik juga bagi perkembangan anak.

Memutuskan resign untuk menjadi ibu rumah tangga seutuhnya adalah hal yang sangat berat dan rumit. Selain pendapatan akan berkurang, ibu juga sering tidak siap dengan hal-hal baru. Bahkan bisa mengalami depresi karena keputusan itu. Butuh kesiapan hati dan pemikiran yang matang.

Bagi seorang wanita pekerja yang tiba-tiba menjadi seorang ibu rumah tangga, apalagi tidak mempunyai asisten rumah tangga sangatlah berat dan melelahkan. Banyak hal yang harus dikerjakan, mulai dari mengurus anak, memasak, menyuci, menyetrika, mengepel dan lain sebagainya. Pekerjaan yang sama setiap hari.

Menjadi IRT berarti sulit memiliki "me time" dengan teman-teman yang bisa diajak ngobrol sambil minum kopi, nonton kalau ada film baru, atau sekadar pergi ke salon untuk memanjakan diri. Jangankan ke salon, untuk merawat diri sedikitpun kadang tidak lagi sempat. Dulu terlihat rapi dengan make up di wajah, sekarang sudah bau amis, pesing, dan kucel. Bukankah itu membosankan?

Saya juga punya pengalaman yang sama. Setelah punya anak, saya tetap bekerja. Saya bersyukur karena si kecil diasuh oleh saudara sendiri, adik suami. Namun demikian, banyak hal yang terlewatkan olehku di masa emas anakku. 

Waktuku hanya sedikit buat si kecil. Pulang kerja kadang sudah lelah dan ingin istirahat. Saat berangkat kerja si kecil masih tidur karena jadwal kerja yang masuk sangat pagi. Rasanya sangat sedih.

Awal tahun ini, akhirnya saya memutuskan untuk berhenti bekerja di usia keduapuluh bulan anakku. Awalnya sangat berat buatku. Hari-hari yang sangat membosankan. Pendapatan pun berkurang. Saya harus bijaksana untuk mengatur keuangan. Dua bulan pertama, saya sangat sulit untuk menikmatinya. Namun melihat perkembangan si kecil dan semua kelucuannya rasanya semua terbayar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun