Mohon tunggu...
Rusnani Anwar
Rusnani Anwar Mohon Tunggu... Administrasi - Communication Strategist

TV - Radio Broadcaster. Menggemari musik, buku dan kamu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Gempita Sunyi

21 Januari 2014   10:18 Diperbarui: 26 November 2015   15:03 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Kaleng bir kedelapan, ia sudah ke toilet berkali kali namun masih ditenggaknya juga minuman berlogo bintang itu. Ia tidak mencari mabuk malam ini, kaleng bir dingin sekadar alasan baginya untuk bisa berlama lama di tempat itu. Tempat paling ramai di kota yang sudah menggenapi fajar sejak belasan menit lalu.

Rolling door diturunkan, ia mau tak mau pulang. Menutup telinga dengan headset dan mengeraskan volume musik hingga kepalanya terasa berdentam sepanjang perjalanan pulang. Tiba di rumah, dinyalakannya televisi dengan volume nyaris penuh.

Ruang tengah bergema serupa kepalanya yang dijejali musik bervolume keras. Di atas kasur dingin pagi itu dipejamkannya mata, mencoba untuk tidur bersama setiap riuh yang ia ciptakan.

Senja menepati janjinya untuk bertemu dengan malam saat televisi masih bersuara nyaring. Dentam musik di telinganya sudah berhenti, kehabisan energi. Bergegas ia bangun menuju kamar mandi dan bernyanyi sekerasnya di sana.

“Sori telat”

dijabatnya satu per satu kawan kawannya yang menunggu sejak pukul sembilan di tempat paling ramai di kota itu. Riuh suara menenggelamkan ucapan seorang kawannya yang dijawabnya dengan anggukan ringan.

Berbotol bir menemaninya melewati malam itu, disertai gelak tawa kawan kawannya, rayuan perempuan perempuan setengah sadar, dan alunan musik yang tak habis habis.

Rolling door diturunkan ia mau tak mau harus pulang. Sepanjang perjalanan dirapatkannya headset dan memutar musik dengan volume penuh. Setibanya di rumah, ia penuhi ruang tengah dengan suara nyaring televisi. Masuk ke kamar, di sudut ruangan ia duduk dan melihat cermin, memastikan apakah kantung hitam di bawah matanya sudah memudar.

Cermin masih ditatapnya meski kantung hitam yang ia kuatirkan sudah tak lagi ada. Pikirannya menguar jauh, ke tempat lain yang bukan saat ini. Nyaring televisi dari ruang tengah perlahan samar, dentum musik di telinganya terasa menjauh.

Lalu sunyi.

“Halo..”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun