Mohon tunggu...
Rusnani Anwar
Rusnani Anwar Mohon Tunggu... Administrasi - Communication Strategist

TV - Radio Broadcaster. Menggemari musik, buku dan kamu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tepi Sepi

28 Januari 2014   09:17 Diperbarui: 26 November 2015   11:46 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Beritahu aku, bagaimana caranya mengobati patah hati”

Temaram lampu café meredupkan sinar mata Dian. Pertanyaan yang dijawab Adam dengan tawa kecil

“Liver kamu bermasalah? Bisa kena penyakit kuning tuh ntar”

Dian tak turut tertawa. Membuat Adam sadar, ini pertanyaan serius

“Kamu kenapa lagi, Di”

Perempuan itu menatap jemarinya sendiri

“Kamu tau rasanya kesepian?”

“Saat setelah bersenang senang, tertawa banyak lalu dalam perjalanan pulang, kamu menghela nafas dan merasakan itu. Kesepian”

Adam tidak bisa menahan kepalanya untuk tidak menggumamkan ahh, look at all the lonely people, all the lonely people where do theyre come from milik Beatles.

“Aku pernah membaca soal ini, Di. Perkara bagaimana manusia merasa baik baik saja bahkan saat mereka sendirian, jomblo, ga punya gebetan. Mereka menikmati kesendirian itu” Adam mencoba memberikan jawaban terbaiknya

Dian tersenyum

“Aku bicara soal kesepian, Adam. Bukan menjadi sendirian”

“Loh, beda ya?”

“Tidak apa sendirian, asal tidak kesepian. Aku hanya sedang heran dengan diriku sendiri. Berapa banyak waktu yang kuhabiskan untuk bekerja dan bersenang senang tapi dalam sepersekian detik di antaranya aku masih saja menghela nafas dalam perjalanan pulang dan merasa… sepi”

Adam mengamini ucapan perempuan di depannya. Dian adalah satu satunya perempuan paling sibuk yang ia kenal. Pekerjaannya di media membuat Dian nyaris menghabiskan hari untuk bekerja. Menyusun data, riset dan banyak menulis. Kehidupan sosial yang ia milikipun tidak main main, kawannya sangat banyak dan ia selalu punya waktu untuk memiliki kehidupan sosial. Berkali kali Adam merasa harus mengingatkan Dian untuk tidak terlalu keras pada dirinya sendiri. Dian selalu menjawab ia melakukan semua itu agar kepalanya sibuk dan tidak merasa sepi.

“Aku hanya ingin bertanya ini, Di. Ada apa dengan sepi sehingga ia harus kamu hindari sedemikian rupa?”

Dian terdiam cukup lama, ia lagi lagi menatap jemarinya sendiri. Tapi Adam tau pasti, fokus pikiran perempuan di depannya bukan kelima jemari tangannya namun sesuatu, entah apa, yang membuatnya begitu ketakutan pada rasa sepi.

“Kesepian itu perasaan yang kompleks, Dam. Sepi membuat tidak hanya pikiranmu sakit, namun juga tubuh yang merasa tiba tiba lelah dan sesak pada dada. Rasanya seperti ada yang salah tapi kamu tidak mengerti apa. Sekuat apapun kamu mencoba memikirkan alasannya, menghindarinya, menutupinya dengan kesibukan lain. Seperti kubilang tadi, sepersekian detik dalam perjalanan dari kantor ke rumah, aku merasakannya. Kegamangan yang sangat dan rasanya sesak”

Adam mengenal Dian cukup lama. Dian mulai sering berbicara padanya sejak dua tahun lalu. Sebelumnya Adam mengenal Dian sebagai salah satu teman yang menarik untuk berdiskusi, pekerjaan Dian di media membuat perempuan itu selalu up to date dan menyenangkan untuk diajak bicara. Tapi baru malam ini, di café yang perlahan menyenandungkan lagu lagu Radiohead ini Dian berbicara soal patah hati dan sepi. Dua subjek yang bagi Adam sangat asing untuk diasosiasikan pada sosok Dian yang diketahuinya selalu berbahagia.

Dian selalu bicara dengan bersemangat jika menyangkut pekerjaan. Betapa perempuan itu menyukai pekerjaannya dan banyak menularkan semangat untuk Adam mengerjakan pekerjaan dengan passion dan motivasi berbahagia. Dian juga banyak mengenalkan Adam dengan teman temannya yang selalu memberi review positif atas Dian. Patah hati dan sepi, adalah dua subjek yang sangat asing untuk seorang periang seperti Dian.

“Kamu bilang, kamu sedang patah hati?”

Adam menghirup aroma kopinya

“Ya, mungkin. Pada siapa aku tak tau. Maksudku, aku tidak sedang berpacaran bahkan jatuh cinta pada siapapun. Aku hanya patah hati. Ada rasa seperti kosong, di sini” Dian menunjuk dadanya sendiri. Raut wajah dan tatapannya seperti seseorang yang banyak menangis. Adam semakin bingung

“Bagaimana bisa?”

Dian akhirnya menangis. Dua tiga puluh pagi, café tak ramai. Hanya ada mereka dan sepasang kekasih di seberang ruangan. Adam menyusun kalimat untuk setidaknya menghentikan Dian dari tangisannya

“Gini, Di. Konon pada kedalaman sunyi kita akan bisa mendengarkan diri kita sendiri. Pada perjalanan sepi, manusia akan mengerti tujuan mereka. Coba bicara pada diri kamu sendiri, Di, soal apa yang kamu mau sebab cuma kamu yang bisa menjawab itu. Mungkin Tuhan, memberimu rasa kesepian agar kamu punya waktu untuk memikirkan dirimu sendiri. Berbaik sangka saja. Aku tidak tau apa yang terjadi padamu di masa lalu hingga kamu sedemikian rupa menghindari rasa sepi. Tapi cobalah untuk berbaikan dan berteman dengan kesepian.”

Dian mengangguk pelan, mengusap airmatanya. Perempuan itu menghabiskan kopinya dan pamit pulang.

Adam tidak sempat melihat, Dian menghela nafas dan menekan dadanya dalam perjalanan pulang.

***

Seminggu sejak pertemuannya dengan Dian di café itu dan Adam tidak berhasil menghubungi perempuan itu. Merupakan hal biasa baginya berbulan bulan lost contact dari Dian namun kali ini, entah mengapa, Adam khawatir padanya sejak apa yang mereka bicarakan minggu lalu.

Berbekal alamat dari kantor Dian Adam berhasil menemukan rumahnya. Ibu Dian menyambutnya di pekarangan rumah. Beliau bercerita tentang Dian yang tiba tiba mengambil cuti dan pamit untuk pergi ke luar kota.

“Enam tahun dia bekerja di situ tapi tidak pernah libur, pas lebaran juga bekerja. Ibu kira memang sudah saatnya dia ambil cuti. Sebulan katanya, mau ke luar kota. Ibu malah seneng liat dia mau libur, tumben”

Urung Adam mengungkit soal pertanyaan Dian di café pekan silam

Adam pamit dan meyakinkan dirinya bahwa Dian sedang baik baik saja.

***

Pesan singkat mampir ke ponsel Adam senja itu. Dari nomer Dian yang sudah lama tak bisa dihubungi Adam. Empat bulan lewat sejak Adam ke rumah Dian dan tak sekalipun ia bisa menghubungi perempuan itu. Khawatir masih mengendap dalam kepala Adam sebab Dian tak lagi terlihat di kota itu.

Aku telah berdamai dan kini berkawan baik dengan sepi, Dam. Betul katamu, rasanya melegakan. Kini aku akan memulai perjalanan sunyi di mana tidak ada lagi kesepian tersisa untukku.

Entah apa yang membuat Adam memacu kendaraanya begitu kencang, menuju rumah Dian.

Ibu Dian kembali menyambutnya di pekarangan. Raut wajahnya begitu lelah, hitam menggelayut pada kantung mata perempuan setengah abad itu.

Terisak, ia bercerita tentang Dian yang tak kunjung pulang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun