“Ya, mungkin. Pada siapa aku tak tau. Maksudku, aku tidak sedang berpacaran bahkan jatuh cinta pada siapapun. Aku hanya patah hati. Ada rasa seperti kosong, di sini” Dian menunjuk dadanya sendiri. Raut wajah dan tatapannya seperti seseorang yang banyak menangis. Adam semakin bingung
“Bagaimana bisa?”
Dian akhirnya menangis. Dua tiga puluh pagi, café tak ramai. Hanya ada mereka dan sepasang kekasih di seberang ruangan. Adam menyusun kalimat untuk setidaknya menghentikan Dian dari tangisannya
“Gini, Di. Konon pada kedalaman sunyi kita akan bisa mendengarkan diri kita sendiri. Pada perjalanan sepi, manusia akan mengerti tujuan mereka. Coba bicara pada diri kamu sendiri, Di, soal apa yang kamu mau sebab cuma kamu yang bisa menjawab itu. Mungkin Tuhan, memberimu rasa kesepian agar kamu punya waktu untuk memikirkan dirimu sendiri. Berbaik sangka saja. Aku tidak tau apa yang terjadi padamu di masa lalu hingga kamu sedemikian rupa menghindari rasa sepi. Tapi cobalah untuk berbaikan dan berteman dengan kesepian.”
Dian mengangguk pelan, mengusap airmatanya. Perempuan itu menghabiskan kopinya dan pamit pulang.
Adam tidak sempat melihat, Dian menghela nafas dan menekan dadanya dalam perjalanan pulang.
***
Seminggu sejak pertemuannya dengan Dian di café itu dan Adam tidak berhasil menghubungi perempuan itu. Merupakan hal biasa baginya berbulan bulan lost contact dari Dian namun kali ini, entah mengapa, Adam khawatir padanya sejak apa yang mereka bicarakan minggu lalu.
Berbekal alamat dari kantor Dian Adam berhasil menemukan rumahnya. Ibu Dian menyambutnya di pekarangan rumah. Beliau bercerita tentang Dian yang tiba tiba mengambil cuti dan pamit untuk pergi ke luar kota.
“Enam tahun dia bekerja di situ tapi tidak pernah libur, pas lebaran juga bekerja. Ibu kira memang sudah saatnya dia ambil cuti. Sebulan katanya, mau ke luar kota. Ibu malah seneng liat dia mau libur, tumben”
Urung Adam mengungkit soal pertanyaan Dian di café pekan silam