"BATO" SEBAGAI RITUAL DIMULAINYA MUSIM BERCOCOK TANAM DI LADANG BAGI MASYARAKAT SOA
Rusmin Mawo Rema.Kompasiana.Soa_,Hari ini Sabtu 22/10/2022 semua masyarakat Soa Kabupaten Ngada Flores NTT melakukan ritual adat "Bato". Â Ritual Bato ini dilakukan sebagai bentuk pemujaan terhadap sang penguasa alam, nenek moyang dan leluhur agar merestui dan menjaga tanaman yang ditananm diladang nanti.
Ritual Bato sebagai tanda akan dimulainya bercocok tanam diladang bagi masyarakat Soa.Bagi masyarakat Soa, Upacara - upacara adat yang berhubungan dengan aktivitas bidang pertanian, selalu dilakukan dan dijalankan dengan baik karena mengingat hampir sebagian besar masyarakat Soa bermata pencaharian sebaga petani.
Masyarakat petani percaya bahwa dengan melakukan ritual adat Bato tentunya para penguasa alam dan leluhur akan menjaga dan memberkatinya dengan baik sehingga dapat memperoleh hasil yg baik pada saat panen nanti.Oleh karena itu ritual Bato ini di taati dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab agar tidak menimbulkan gagal panen nanti.Dengan adanya kepercayaan inilah yang membuat masyarakat Soa merasa ritual Bato merupakan hal yang wajib dan harus dilaksansakan dengan  baik.
Ritual bato bagi masyarakat Soa pada umumnya dilakukan bersamaan pada upacara budaya berburu adat dalam bahasa daerah Soa disebut Rorilako .Bato dilakukan ketika Selesai berburu( Rorilako) Witu Welu dan berselangan waktu menyongsong berburu ( rorilako  ) Witu Nio.Bagi masyarakat Seso yang melakukan ritula adat Witu Welu,Bato dilaksanakan sehari sebelum masyarakat Soa lainnya dilakukan.Selama ritual adat bato ini dilakukan,masakan yang wajib dan boleh dimasak adalah ubi dan daging hasil buruan dari hutan,makanan tersebut diokah secara lokal dan di sajikan untuk semua kekuarga serta dimakan secara bersama sama.
Ritual bato biasanya diselenggarakan pada bulan Oktober.Bato adalah ritual minta permohonan dalam kalender etnis Soa di Kabupaten Ngada agar semua tanaman yang di tanam da[at tumbuh subur,memberikan curah hujan yang cukup ,berkembang dengan baik serta memperokeh hasil yang memuaskan. Bato adalah pesta adat , pesta pemujaan atas kasih kebaikan dan penyelenggaraan Tuhan (Dewa Zeta Nitu Zale) yang dinikmati masyarakt  Soa lewat hasil pertanian, peternakan, dan lainnya.
Bato yang dirayakan setahun sekali dan tergantung petunjuk Wula Adha Rorilako Witu Welu atau pemegang adat yang menentukan saat pelaksanaanya. Dalam ritual Bato, rasa syukur manusia atas kebaikan Tuhan disimbolkan lewat Uwi (ubi tapi bukan singkong. Uwi diyakini roti kehidupan manusia pada masa silam masyarakat soa. . Filosofi Ubi sebesar Pucuk menjulang kepada Tuhan. Akar tertanam memeluk Dewa Bumi, kayu penyangga setinggi gunung. Rambatnya mencapai langit. Ubi tetap bertumbuh tunas. Meski digali babi landak, tetap selalu ada. Diserang babi hutan, juga tak akan habis ini digunakan masyarakat soa sehingga memilih  ubi untuk di jadikan makanan pokok dalam ritual bato.
Seperti ubi makanan yang bertahan lama, bayo pun tidak punah. Manusia pendukungnya tetap berkembang biak bersama alam lingkungan dan terus menghidupi Ritual bato dari generasi ke generasi. Leluhur dan nenek moyang masyarakat Soa pada masa silam,sajian makanan Bato tersebutb dihidangkan di atas wati/kula (pring adat) namun seiring perkembangan zaman masyarakat Soa generasi sekarang tentunya ada sedikit perubahan dimana dalam sajian makan sudah menggunakan piring dan sendok,namun tidak mengurangi tahapan ritual yang dilakukan dalam hal pemujaan tersebut.
Dengan memaknai bato,generasi penerus tentunya menjiwai pepatah dan pesanan leluhur yang harus dan mestinya terus di jaga dan di lestarikan. "Dewa zeta nitu zale (percaya pada Tuhan YME). Bhodha molo ngata go kita ata (menaruh hormat pada kemanusiaan). Dhepo da be'o, tedu da bepu (meneladani para pendahulu). Dhuzu punu ne'e nama raka (belajar dan bekerja sampai tuntas). Dua wi uma nuka wi sa'o (pergi ke kebun dan kembali ke rumah; cari pekerjaan yang baik, sehingga bisa kembali ke rumah dengan selamat) "Modhe-modhe ne'e hoga woe, meku ne'e doa delu (berbuat baik dengan sahabat). Maku ne'e da fai walu, kago ne'e da ana halo (bersimpati dengan para janda dan anak yatim piatu; bersimpati dengan kaum miskin dan terlantar). Go ngata go ngata, go tenge go tenge (milik orang lain, biarlah menjadi milik orang lain; akuilah milik orang lain; jangan serakah). Kedhu sebu pusi sebu (mengutamakan nilai-nilai luhur). Bugu kungu nee sira lima (tekun bekerja dan menikmati keringat sendiri)".Tentunya dengan menjiwai  pepatah adat tersebut  generasi masyarakat Soa menjadi lebih bijak dan menjiwai tradisi dan budaya daerah setempat serta mampu menjadikan Soa sebagai daerah yang berbudaya....(editor by Rusmin Mawo Rema)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H