Relasi Kuasa Antara Negara dan Pasar
Oleh: Rusman
Diskursus tentang kebijakan ekonomi politik dan politik ekonomi dari sebuah rezim pemerintahan, haruslah dimulai dari pembicaraan tentang relasi kuasa antara kekuatan negara dan kekuatan pasat. Operasinalisasi sebuha megara lazimnya hanya bertumpu, pada dua instrumen yakni regulasi dan anggaran.Â
Di atas dua pilar itu, pembagian kekuasaan selanjutnya dilakukan dengan harapan dapat mencapai keseimbangan (check and balances)Â dalam bekerjanya fungsi-fungsi negara.Â
Sementara itu pada sisi yang lain, kekuatan pasar juga bekerja dengan mengedepankan dua prinsip utama yakni produktivitas dan efisiensi. Titik temu dari kedua kutub kekuatan tersebut adalah sistem demokrasi. Demokrasi sebagai sebuah sistem sosial yang memberikan ruang terbuka bagi proses dialog dan kebebasan berpendapat, menjadi jalan tengah yang paling ideal bagi terwujudnya mutual beneficial, kolaborasi dan kemitraan, baik bagi negara sebagai manifestasi dari kehendak publik dan pasar sebagai pusat sirkulasi kekuatan ekonomi swasta.
Dalam konteks ideologi besar dunia, relasi kuasa antara negara dan pasar ini dikembangkan dalam sebuah sistem ideologi yang disebut dengan sosialis-komunis dan liberalis-kapitalis. Â Korea Utara dan Korea Selatan adalah dua (bersaudara) negara yang hingga saat ini memegang identitas ideologis tersebut sebagai dasar pembentukan sistem tata kelola negaranya masing-masing.Â
Terhitung sejak satu (1) dasawarsa terahir, AS dan Tiongkok (RRC) menjadi negara yang memiliki market share secara global dalam berbagai produk manufaktur berbasis teknologi. Namun dengan karakteristik ideologis yang cukup dinamis antara model intervensionis negara dan legitimasi pasar. Satu hal ini menarik untuk dicermati adalah, produk hukum dan sistem kelembagaan yang tumbuh dan berkembang di masing-masing negara tersebut.
Posisi Indonesia sendiri sebagai negara yang telah final dengan ideologi Pancasila, memiliki corak kelembagaan tersendiri, baik dari segi politik, terlebih dalam dimensi ekonomi. Sebagai contoh, lahirnya UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam implementasinya, UU tersebut masih belum mampu menarik minat investor di Bidang Pertambangan, disebabkan oleh "watak" fundamentalnya yang lebih banyak bertumpu pada BUMN, yang tidak lain adalah bentuk kapitalisme negara.Â
Pada saat bersamaan secara umum, daya saing BUMN masih kurang kompetitif yang disebabkan oleh adanya kelemahan internal birokrasi dalam mengembangkan model-model bisnis yang sesuai dengan perkembangan zaman. Terlebih dalam era revolusi industi 4.0 seperti yang tengah menjadi perhatian semua pihak, seperti sekarang ini.Â
Seiring dengan perubahan perekonomian global dan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional perlu diciptakan iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan, dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional.
Indonesia adalah contoh negara tempat investasi yang menarik. Tetapi masalah kepastian hukum masing sering disuarakan investor, khususnya dalam aspek perizinan. Pembenahan perizinan tampaknya masih menjadi problem serius meskipun berbagai regulasi sudah diterbitkan. Perizinan yang kurang berjalan dengan baik akan menimbulkan biaya tinggi.Â