Mohon tunggu...
rusman latief
rusman latief Mohon Tunggu... -

oke sajalah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Karakter Pengemis

25 Februari 2015   23:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:30 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Presiden Amerika Serikat, Barack Obama dalam bukunya yang di tulis sendiri berjudulDreams From My Father menceritakan dengan sangat lengkap tentang Indonesia yang rakyatnya di mana-mana penuh dengan pengemis.Obamamenceritakan bahwa Di Indonesia (baca : Jakarta) sepanjang jalan yang dilaluinya menemukan pengemis. Bahkan saat dia beristirahat di rumahnya pengemis mendatanginya. Obama seakan dikepungoleh pengemis.

Pada suatu waktu Obama berniatmembagikan uangkepada pengemis, namun ayah tirinyamenjelaskan, “Berapa pun uangyang engkau miliki tidak akan cukup untuk pengemis yang engkau temui. Uang itu simpan saja, beberapa waktu uang itu dapat dibelikan sepeda,” kata Ayah yang berkebangsaan Indonesia.

Obama menulis pengalamannya itu hampir setengah abad lalu, namun situasi saat Obamamenulisnya , faktanya tidak berubah hingga kini. Kita masih menemui kerumunan pengemis, di trotoar, traffic light, pasar, terminal, datang ke rumah rumah berselimut sumbangan sosial. Pengemis terus saja mengepung kita.

Pada bulan Ramadhan, atau pada saat selesai sholat Jumat, di beberapa Masjid para pengemis berbaris seperti sudah diorganisir datang untuk mendapat belas kasihan, untuk mencapai target hasil mengemisnya.

Ingat kasus Olga Saputra beberapa waktu lalu, di layar televisi dengan gaya komedi menyebut pengemis, kemudian dilaporkan ke KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Olga seakan-akan merendahkan salam Assalamualaikum, yang ucapkan oleh Jupe, lalu dibalas dengan celoteh Olga, “Loe seperti pengemis sapa Assalamualaikum.” Laporan masyarakat itu membuat Olga menangis terseduh-seduh, karena tidak ada niat sama sekali Olga mau merendahkan ucapan salam Assalamualaikum. Tapi faktanya salam itu yang selalu diucapkan para pengemissaat menemui mangsanya. Secara spontan. dalam pikiran Olga itu adalah sapaan pengemis. Ini soal pengetahuan saja.

Para pengemis melakukan berbagai cara untuk meluluhkan hati obyek sasarannya. Duduk dengan malas merendahkan dirinya berharap dikasihani. Paling efektif memanfaatkan simbol-simbol agama. Apalagi bagi orang Indonesia, Jika atas nama kepentingan agama, apapun siap dilakukan; harta, tenaga, pikiran, bahkan nyawa pun siap untuk di korban. Dalam ajaran agama hal-hal kebaikan dan kebenaran patut dibela dan dipertahankan.

Dalam kamus bahasa Indonesia pengemis didefinisikan; orang yang meminta-minta dengan merendah-rendah dengan penuh harapan. Definisi ini dapat juga diartikankepada golongan yang suka meminta-minta juga dapat disebut pengemis, tanpa melihat status sosial dan ekonomi. Artinya pengemis bukan hanya orang-orang pakaian kotor dan buruk yang berada di pinggir jalan atau tempat umum seperti yang ditemui Obama, tetapi juga orang-orang yang berpakaian bersih yang berpendidikan tinggi dan berpenghasilan besar yang berada di lembaga negara, lembaga perwakilan rakyat, di departemen pemerintahan, lembaga keamanan, pendidikan. Individu-individu dalam lembaga negara yang merendahkan diri danmeminta-minta komisi kepada pemenang tender proyek yang di kelolanya atas nama negara, mereka ini tidak lain juga pengemis yang mengatas simbol negara. Karena ciri-ciri pengemis, mereka yang tidakmau bekerja, malas, tidak kreatif dan serakah dan bangga mendapatkan sesuatu yang bukan haknya dantidak punya rasa malu. Hanya ingin mendapatkan uang tanpa bekerja. Ia tidak memberikan hasil kepada sang pemberi, karena pemberian hanya untuk dirinya sendiri bukan untuk disumbangkan atau dinikmati kepentingan umum.

Hebatnya, mental-mental pengemis di birokrasi perilakunya dibungkus dengan keindahan penampilan dan bahasa yang halus alias santun.Atas nama sumbangan menipu dan mengecoh mangsanya. Contoh paling kentara di sekolah-sekolah, sudah ada gedung, kursi, ada gedung ibadah.Bahkan regulasi bebas biaya masuk sekolah, tetapi tetap saja setiap tahun ajaran baru, ada saja istilah yang dibuat pihak sekolah sumbangan sukarela, tetapi tidak sukarela, menarik uang dari siswa. Repotnya lagi, jika para pendidik yang melakukan atas nama sumbangan tersebut bergelar S1, S2 atau S3. Kalau sudah begini, orang-orang terdidik sudah mengajarkan untuk menjadi pengemis. Padahal merekalah harapan bangsa yang seharusnya mengajarkan tentang kebenaran, keuletan, daya tahan, dan kerja keras kepada siswa untuk melakukan sesuatu yang bermanfaatuntuk mendapatkan hasil. Bukan dengan merendahkan diri, tidak bekerja, tidak bermanfaat lalu mendapatkan hasil.

Jika di lembaga perwakilan rakyat, para pengemis berdasi berkeliaran, dan jika ada kelompok masyarakat yang menggunakan simbol-simbol agama, simbol simbol lembaga negara, simbol-simbol pendidikan untuk mengemisdengan merendahkan–rendahkansimbol-simbol itu, mengadakan tangan atau dengan komersialisasi jabatan untuk mendapatkan keuntungan tanpa kerja keras. Jangan protes dan marah karena karakter pengemis sudah melembaga dan tertata secara sistematik. Mungkin ini pola pikir tipu daya yang dilakukan dengan rapi dan indah, yang terwujud dalam karakter pengemis.

Jika polatingkah laku karakter pengemis secara terus menerus dipertontonkan kepada masyarakat, 10, 20, 50, 100 tahunke depan masih ada “Obama-Obama” yang menulis tentang negeri yang dikepung para pengemis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun