[caption id="" align="alignleft" width="256" caption="Diskusi kewirausahaan bersama Bob Sadino"][/caption] Salah satu tokoh terkemuka di dunia wirausaha Indonesia, adalah Bob Sadino, alias Bambang Mustari Sadino. Dia merupakan pemilik tunggal sekaligus pendiri dari kelompok perusahaan “KemChick”, yang menjual berbagai jenis bahan pangan berkualitas tinggi. Kesuksesannya yang kita lihat sekarang ini, bukanlah semata-mata hasil dari kerja keras selama 40 tahun. Sebab, di dalam perjalanan panjang perjuangannya tersebut, terdapat sebuah celah waktu pendek, yang ternyata menjadi kunci bagi keseluruhan sukses yang diperolehnya di kemudian hari. Celah waktu itu adalah apa yang disebut sebagai “Moment Of God” (MOG), sebagaimana yang dialami oleh hampir seluruh tokoh sukses di dunia. MOG yang dialami oleh Oom Bob – begitu biasanya saya menyapa beliau – adalah dari jenis “alignment”, di mana ada sesosok orang lain yang secara “kebetulan dan tidak sengaja”, seakan-akan membukakan pintu tol “Highway To Success” baginya. Dalam kasus Oom Bob ini, sosok orang lain dimaksud adalah Sri Mulyono Herlambang, salah seorang sahabat beliau sendiri (ref: Belajar Goblok Dari Bob Sadino, Dodi Mawardi). Bob Sadino sejatinya terlahir dari keluarga cukup berada, karena orang tuanya merupakan ambtenaar (pegawai negeri) yang di jaman Belanda sangat dihormati orang. Masa sekolah mulai dari TK sampai SMA, bahkan sampai kemudian bekerja di PT Unilever pun berjalan dengan lancar-lancar saja tanpa masalah berarti. Gejolak jiwa sebagai pemuja kebebasanlah yang akhirnya merubah ritme kehidupan Bob yang tenang tenteram menjadi penuh gunjang-ganjing petualangan. Avonturisme Oom Bob bermula ketika ia meninggalkan PT Unilever untuk bergabung menjadi karyawan PT Djakarta Lloyd. Sebagai karyawan perusahaan pelayaran, tak pelak lagi ia harus melanglang buana, antara lain ke Belanda dan Jerman. Di Eropa, Sang Jawara Goblok (julukan unik beliau) ini menghabiskan waktu tidak kurang dari 9 tahun lamanya sehingga memperoleh banyak teman di sana. Namun, kehidupan mapan di negeri maju selama bertahun-tahun pun tidak bisa meredam jiwa kebebasannya yang tidak betah bekerja di bawah perintah orang lain. Tahun 1967 Bob bersama isteri pulang ke Jakarta, dengan membawa dua unit mobil Mercedes Benz. Salah satu mobil tersebut kemudian dijual demi membeli sebidang tanah di Kemang, sedang yang satu lagi dikaryakan sebagai taksi. Cara hidup demikian sebenarnya sudah cukup menenteramkan hati Bob Sadino, karena penghasilan dari taksi Mercedesnya cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Sayang seribu sayang, beberapa waktu kemudian bencana datang. Mobil Mercy kesayangannya mengalami kecelakaan dan hancur luluh. Hatinya pun hancur luluh, bahkan kehidupannya ikut luluh lantak berantakan. Sejak itu ia harus menjalani kehidupan serba sulit. Demi mencari sesuap nasi, pekerjaan apa pun dia lakoni. Mulai dari tukang bangunan, jualan telur, bahkan sampai mencari ikan di rawa-rawa dilakukannya juga. Keseharian yang penuh keprihatinan itu akhirnya terdengar oleh teman-temannya. Tidak saja di Indonesia, tapi juga di mancanegera. Sri Mulyono Herlambang yang tinggal di Belanda menyarankan agar Bob Sadino beternak ayam saja. Pada waktu itu, ayam negeri belum dikenal di tanah air, maka tidak tanggung-tanggung sang sobat mengirimkan 50 ekor bibit ayam negeri kepadanya. Peristiwa inilah yang kemudian membukakan pintu tol kesuksesan bagi Oom Bob. Telur-telur yang dijualnya sangat diminati masyarakat, baik oleh orang-orang asing yang tinggal di seputaran Kemang, mau pun oleh masyarakat pribumi pada umumnya. Dengan kegairahan serta ketekenunnya berusaha, beberapa tahun kemudian nama Bob Sadino pun mulai muncul sebagai salah seorang pengusaha terkemuka di Indonesia. Seperti yang saya sampaikan pada artikel sebelumnya, kisah Oom Bob ini sengaja saya tampilkan agar kita merasa lebih dekat dengan tokoh-tokoh yang mengalami “Momentum Tuhan”. Karena tokohnya ada di Indonesia, akses untuk berjumpa atau bicara menjadi lebih mudah bagi kita. Bob adalah orang yang rendah hati, tidak sulit untuk ditemui dan enak untuk diajak bicara. Di atas itu semua, passion nya untuk membina masyarakat dalam berwirausaha juga sangat menggebu. Foto yang disertakan di sini menunjukkan saat saya selesai berdiskusi berjam-jam dengan beliau, sekaligus meminta endorsement untuk buku karya saya tahun 2012 yang lalu, berjudul “Bisnis Itu Permainan, Bukan Ilmu Pengetahuan”. Semoga bermanfaat.(rh)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H