Memasuki bulan Desember yg identik dengan Natal, di mana saja kita akan menemukan atribut Natal yg bersliweran, mulai dari rumah kaum Nasrani hingga pusat perbelanjaan yg memasang atribut ini. Selain itu, hal menarik lainnya adalah pembagian hadiah berupa kado yg diiringi ucapan Selamat Natal bagi umat Nasrani yg merayakannya. Natal selalu dianggap adalah Hari Raya bagi umat Nasrani baik di Indonesia maupun belahan dunia lainnya. Tidak heran, Natal menjadi hari yg dianggap penting dibandingkan Hari Raya umat Nasrani lainnya, seperti Paskah atau Kenaikan Isa Al-Masih.
Mirisnya, kemeriahan Natal di negeri ini selalu dihantui demo ataupun penolakan dari sebagian golongan dari tahun ke tahun. Mulai dari demo menolak menyampaikan ucapan selamat Natal hingga penolakan atribut Natal. Bahkan MUI mengeluarkan fatwa untuk mengharamkan atribut Natal hingga membuat ormas radikal merasa semakin bebas melakukan razia, seperti yg terjadi di Galaxy Mall, Surabaya. Meskipun ormas radikal tersebut hanya berkilah untuk sosialisasi fatwa MUI saja, hal ini jelas sudah menorehkan luka bagi sebagian umat yg ingin merayakan Natal.
Akar permasalahan memang gampang ditebak, awalnya ormas radikal memiliki kepercayaan bahwa Natal bukanlah hari kelahiran Tuhan Yesus seperti yg diyakini umat Nasrani. Banyak cerita sejarah ataupun mitos kelahiran Tuhan Yesus yg bertolak belakang dgn nuansa Natal yg penuh salju dan Sinterklas. Sehingga bagi mereka perayaan ini adalah haram hukumnya. Sakingnya ngototnya mereka lupa bahwa sebenarnya umat Nasrani sendiri juga paham Natal sesungguhnya bukanlah hari kelahiran Tuhan Yesus. Umat Nasrani jelas mengerti bahwa Natal dengan salju dan Sinterklas hanyalah sebuah tradisi.
Ketika Kaisar Romawi Konstantinus Agung (272 - 334 M) menjadi Kaisar yg pertama melegalkan agama Kristen, Natal mulai dirayakan 25 Desember 336 M untuk menggantikan Hari Raya dewa kafir yg dipuja bangsa Romawi sebelumnya. Seiring dengan perkembangan agama  Kristen yg pesat di belahan Eropa maka Natal terus dirayakan dari tahun ke tahun dengan diiringi mitos dari dataran Eropa hingga ke Amerika. Salah satunya adalah Santo Nikolaus yg kemudian menjadi Sinterklas karena kegemarannya untuk memberi hadiah bagi anak-anak. Sejarah Natal ini sangat dimengerti umat Nasrani sehingga kemeriahan Natal yg dirayakan hanyalah sebagai sebuah tradisi.Â
Tidak perlu jauh membandingkan kemeriahan Natal dengan negara lainnya yg begitu menghormati tradisi yg dirayakan sebagian warganya, sehingga Natal bisa dijadikan sebagai Hari Raya yg sesungguhnya, dan bagi mereka yg memiliki kepentingan bisnis maka Natal akan dijadikan semakin meriah dengan pemasangan pernak-pernik Natal. Jgn bandingkan di negeri ini karena kita masih terus sibuk dengan pelarangan atribut Natal hingga Kapolri (Jenderal) Tito Karnavian harus mengeluarkan statement tegas bahwa fatwa MUI tersebut bukanlah aturan negara yg memperbolehkan ormas radikal melakukan razia.
Bagi sebagian mereka mungkin haram hukumnya untuk mengucapkan Selamat Natal, namun mereka lupa sebenarya hal ini tidak perlu diperdebatkan, karena bagi umat Nasrani di negeri ini sesungguhnya tidak membutuhkan ucapan Selamat Natal. Umat Nasrani hanya menginginkan perayaan Natal tidak diganggu, karena Natal adalah sebuah simbol perdamaian ketika umat Nasrani memperingati hari kelahiran Tuhan mereka ke dunia.
Tradisi Natal memang sebuah polemik yg tidak berkesudahan. Kita hanya berharap MUI tidak mengeluarkan fatwa lagi untuk mengharamkan Hari Raya lainnya, seperti Imlek misalnya. Risih rasanya melarang atribut Imlek apalagi melarang mengucapkan Qong Xi Fat Chay bagi kaum yg merayakannya, karena di situ ada angpao-nya.
Ya sudahlah.. Selamat Natal bagi yg merayakannya..
Salam Damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H