Mohon tunggu...
Rusli AW
Rusli AW Mohon Tunggu... -

Pekerja Swasta

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menunggu Kepastian di Ujung Pit

22 April 2014   23:21 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:20 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13981580421437757361


Hampir 4 (empat) bulan telah berlalu, awan ketidakpastian masih menyelimuti langit Batu Hijau.Larangan ekspor dan pemberlakuan bea keluar yang sangat tinggi telah mempengaruhi semangat pekerja yang mencari mata pencaharian untuk keluarga di tengah hutan tanah Sumbawa Barat.Pekerja-pekerja tambang yang notabene juga adalah rakyat Indonesia yang menggantungkan kehidupan keluarga-nya dengan bekerja di tambang terlihat semakin resah.Kehidupan harus tetap dijalani dan mau tidak mau harus dirumuskan kembali peta perjalanan-nya.Rencana-rencana masa depan perlu dirubah agar tetap bisa bertahan untuk membiayai hidup, kebutuhan dasar keluarga, sekolah anak, dan lain-lain.Tentu hal-hal tersebut tidak terpikir oleh pemerintah.Mereka tahu-nya Undang-undang harus dijalankan, peraturan harus ditegak-kan.Keresahan dan kesusahan pengusaha dan pekerja tambang tidak dihiraukan.Sebuah ironi ditengah hiruk-pikuk politik, koalisasi dan rebutan kekuasaan.

Bila dicermati, pemberlakuan bea keluarlah yang sebenarnya menyulitkan perusahaan saat ini.Karena kewajiban membangun Smelter bisa disetujui untuk dilakukan bersama secara konsorsium dan direalisasikan pada tahun 2017.Tapi apa lacur, meskipun membangun Smelter bisa ditemukan jalan keluarnya, ternyata hasilnya sama saja. Tetap saja dilarang melakukan ekspor hasil tambang, jika tidak bersedia membayar bea keluar yang besar-nya sampai dengan 60%.Perusahaan mana yang mampu membayar pajak sebesar demikian?Belum lagi dasar peraturan penarikan bea keluar tersebut juga tidak ada.Bea keluar sudah semacam sanksi dari pemerintah akibat tidak terbangun-nya Smelter oleh perusahaan.Sejatinya kalau mau fair, harus-nya membangun Smelter mestinya kolaborasi antara pemerintah dan pengusaha.Baik itu dengan pengusaha tambang maupun pengusaha lain yang berniat melakukan investasi pembangunan Smelter.Mengingat biaya-nya yang sangat besar dan tentu akan mempengaruhi rencana keuangan perusahaan dalam jangka panjang.

Kondisi pemerintah Indonesia memang berbeda dibanding dengan pemerintah Negara lain.Seperti contoh China dan Australia.Dua Negara ini pemerintah-nya membangun Smelter untuk tujuan pemurnian dan tidak ada pemaksaan kepada pengusaha tambang untuk membangun Smelter.Melakukan pemurnian atau tidak merupakan pilihan pengusaha-nya.Tergantung tingkat ekonomis-nya.Untuk lokasi tambang yang tidak memiliki infrastruktur pendukung berdirinya Smelter, mereka tidak akan membangun Smelter.Mereka akan menjual dan bebas melakukan ekspor berdasarkan hitungan profit yang mereka dapat.Yang penting ada royalty dan pajak terhadap ekpor hasil tambang tersebut. Tapi di Indonesia.Lihatlah! Pemaksaan dan pelarangan dan dikenai bea keluar yang diluar nalar bisnis sebenarnya. Seakan-akan perusahaan tidak boleh dapat untung dari bisnis yang dijalankan.Padahal sejatinya bisnis adalah memang mencari untung. Apakah pendekatan berbeda antara Negara kita dengan 2 negara tersebut mencerminkan tingkat kedewasaan sebuah pemerintahan?Kwalitas manajemen terhadap kegiatan ekonomi bangsa yang buruk? Atau memang ini menggambarkan bobrok-nya bangsa ini dalam menentukan kearah mana bangsa ini mau membangun sebenarnya?4 (empat) bulan waktu berlalu begitu saja, dan tidak ada yang diuntungkan.Perusahaan tambang tidak bisa melakukan ekspor hasil tambang , dan pemerintah kehilangan pendapatan dari ekspor tambang.Keuntungan dimasa depan yang dimaksud dari penerapan Undang-Undang adalah sebuah retorika belaka.

Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya anggapan, bahwa perusahaan tambang telah “merampok” kekayaan alam Indonesia.Akibatnya orang-orang yang berkecimpung didalam-nya termasuk pekerja-nya pun dianggap bagian dari “perampokan” yang dimaksud.Sebagai pekerja tambang, saya ikut sedih sebenarnya kalau dibilang kita telah merampok kekayaan alam Indonesia.Mereka lupa perusahaan ini berdiri berdasarkan ijin pemerintah, perusahaan ini mengeluarkan modal untuk berusaha, perusahaan ini telah mempekerjakan ribuan tenaga kerja, perusahaan ini telah membangun berbagai fasilitas sarana dan prasana di daerah dimana mereka beroperasi dengan program social responsibility-nya.Perusahaan ini telah memberikan dampak perkembangan ekonomi yang sangat besar buat daerah.Banyak yang dilupakan oleh pemerintah terhadap sumbangsih perusahaan ini.Jika apa yang diberikan perusahaan ini dirasakan kurang? Lantas kapan cukupnya? Sepertinya tidak akan pernah ada kata cukup jika melihat tingkah polah pejabat Negara saat ini.Korupsi, pungli dan juga penyuapan. Tapi apa mau dikata.Sepertinya kepastian itu memang tidak akan pernah ada.Atau kita memang harus bersabar untuk menunggu-nya? Entah sampai kapan.Menunggu kabinet baru terbentuk? Artinya awal tahun 2015.Tidak yakin perusahaan ini bisa bertahan selama itu, sementara biaya operasional harus tetap dikeluarkan, disatu sisi tidak ada pendapatan untuk membiayai operasional tersebut.Akibatnya?Jelas rasionalisasi.Itulah yang bakal dihadapi beberapa waktu kedepan.Siap? Berapa jumlah-nya? adakah yang tersisa? Siapa yang tersisa?Pertanyaan-pertanyaan yang sudah mulai muncul semenjak isu ini mulai terjadi.Usaha dari perusahaan untuk melakukan negosiasi dengan pemerintah sudah dilakukan.Namun sampai detik ini belum membawa hasil.Sepertinya isu Karyawan dirumahkan sudah mulai diambang pintu untuk menjadi kenyataan.Pengalaman baru buat perusahaan ini yang sudah berdiri sejak 28 tahun yang lalu.

Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang ini? menunggu, sambil mereformasi rencana hidup kedepan.Menata kembali cara kita mengelola uang kita, mengelola aset berharga yang kita miliki saat ini.Uang bukan segala-nya, dan rezeki tidak harus disini.Tujuan hiduplah yang terpenting.Namun harus diakui, semangat Batu Hijau sudah mulai luruh, seiring derap roda dan raung mesin Haul Truck yang mulai terdengar semakin lirih.Cakaran shovel serta dentuman blasting tidak “segarang” dan “sedahsyat” dulu lagi.Kegairahan mulai terlelap, meredup seiring berputarnya waktu, dengan harapan masih bisa menggeliat kembali suatu saat. Dan kitapun masih berdiri di ujung Pit menunggu kepastian.Pada akhirnya hidup harus tetap dijalani dengan optimis dan tetap selalu bersyukur dan pasti masih ada secercah harapan di depan sana, sebagai petunjuk kita untuk menjemput rezeki dan takdir yang lain.#

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun