Mohon tunggu...
Rusli AW
Rusli AW Mohon Tunggu... -

Pekerja Swasta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Birokrasi Jokowi Dalam Mencari Pembantunya

24 Oktober 2014   17:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:53 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jargon kita selama ini adalah kurangi birokrasi yang panjang agar urusan cepat selesai.  Tapi sepertinya memang ada saatnya dimana birokrasi yang “panjang” itu diperlukan.  Seperti misal saat sekarang dalam memilih Menteri yang duduk dalam kabinet.  Agar tidak salah orang, maka Presiden merasa perlu ada keterlibatan KPK dan PPATK dalam memberi rekomendasi atas nama-nama yang diajukan-nya.  Prinsip kehati-hatian sang presiden memang perlu. Lupakan dulu kerja cerdas, cermat dan cepat.  Kerja..kerja…kerja..! berubah menjadi..  cek..cek.cek…dulu.. Seperti pepatah lama mengatakan, Tak akan lari gunung dikejar, hilang kabut tampaklah dia.

Hal lain juga yang perlu diingat oleh sang Presiden dalam prinsip kehati-hatian adalah hati-hati dalam berbicara dan berjanji.  Karena kalau bicaranya asbun saja dan tidak sesuai kenyataan atau tidak ditepati, itu bakal ditagih terus. Dosa pula kata pak Ustadz.  Syukur-syukur tidak dicaci maki.  Repotnya lagi ditagih nya tidak hanya oleh wartawan, tapi juga rakyat yang memilih.  Yang tidak memilih mungkin senyam-senyum saja sudah cukup :-).  Atau mungkin kebalik? Yang tidak memilih yang menagih, yang memilih malah senyam-senyum saja?  Mau direalisasikan atau tidak tidak masalah.  Namanya juga politik.  Hari ini ngomong A besok ngomongnya B.  Kalaupun besok ngomong tetap A, pakai dimodifkasi lagi. Jadi yang lebih pintar yang sudah memilih Presiden sekarang sebenarnya.  Hehe...

Politik.  Mau dicuekin, yang repot juga kita sebagai rakyat.  BBM naik itu isu ekonomi akan tetapi hasil keputusan politik.  UNAS mau dihapus itu isu pendidikan, tapi juga karena keputusan politik.  Sepertinya politik ibarat denyut jantung yang memompa darah keseluruh tubuh, kemudian darah tersebut mengalir membawa zat-zat yang baik yang membuat kita sehat bahkan juga virus yang membuat kita sakit.

Yang pasti dalam 5 tahun kedepan tugas KPK dan PPTAK bertambah.  Mereka juga harus terlibat dalam memberikan rekomendasi terhadap calon-calon Menteri.  Sebelumnya kagak pernah ada kayaknya.  Paling cuma dari “bisik-bisik tetangga” saja rekomendasi yang didapat Presidennya.  Definisi hak prerogatif Presiden perlu disesuaikan lagi.  Hak dimana Presiden memiliki wewenang memilih Pembantu-pembantunya dalam susunan kabinet atas rekomendasi KPK dan PPATK.Semoga saja memang cukup sampai disitu.Tidak ada tambahan rekomendasi dari pihak-pihak lain lagi.

Pertanyaannya apakah nanti hanya sebatas Menteri saja yang perlu rekomendasi? Bagaimana dengan Dirjen, Sekjen, dll.  Sampai eselon berapa rekomendasi seperti ini diperlukan? Bukankah potensi korupsi ada dimana-mana?  Atau ini hanya welcome dance saja diawal-awal, habis itu nggak perlu lagi? bisa jadi dalam rentang waktu 5 tahun kedepan ada Menteri yang mundur karena sakit, meninggal, kinerjanya buruk, dan lain sebagainya.  Yang berkinerja buruk atau ternyata nanti ada yang terlibat korupsi, itu mungkin menarik dikomentari suatu saat nanti.  Udah milihnya lama, orang “hebat”, rekomendasi KPK lagi, ekor-ekornya nggak becus jadi Menteri. Atau memang negeri akan dibuat rame, seperti yang diutarakan dalam masa-masa kampanye. Wallahualam..

Ide untuk menyederhanakan birokrasi atau sistem sepertinya perlu disimpan dulu dalam laci untuk yang saat ini.  Saat ini cara yang kompleks lebih menarik dan menjanjikan untuk Indonesia yang hebat. Harus bersabar.  Rakyat Indonesia memang manusia yang paripurna.  Sederhana, sabar dan pemaaf.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun